Monday, November 28, 2005
Catatan empatbelas
28 November 2005
Kahlil Gibran pernah berkata bahwa ... anakmu sesungguhnya bukanlah anakmu karena mereka adalah anak-anak kebebasan, kamu boleh memberikan tempat bagi raganya tapi bukan untuk jiwanya.
Bagiku, biarlah anak-anak itu mencapai kebebasan impian mereka. Jangan menghalangi mimpi mereka. sebab mimpi kadangkala menjadi penghibur sejati untuk cita-cita yang tak pernah tercapai. Namun, sayang sekali anak tak cukup kuat menahan emosi dua kutub yang retak. Mereka sering menjadi korban tokoh anutan mereka sendiri, ayah dan ibu. Terlempar bagaikan pingpong. Pegangannya rapuh, serapuh tokoh anutan mereka. Mereka dimodali dengan perdebatan di tahap awal kehidupan mereka. Mereka tidak bisa terbang lagi bagai camar. Mereka tidak sanggup berpikir dan mengeja arti kebahagiaan yang dianut ayah-bundanya. Ayah-bundanyapun mengeja kebahagiaan menurut tafsiran mereka sendiri, yang tanpa disadari menjadi cermin bagi anak mereka.
From Soroptimist Park, Townsville
Friday, November 25, 2005
Catatan tigabelas
25 November 2005
Begitu banyak yang melintas di benakku pagi ini, namun aku tak sanggup menentukan mana yang utama untuk ku torehkan. Mulai dari kejadian beberapa malam diteriaki oleh orang-orang dari dalam mobil saat ku mengendarai sepeda, suasana menjelang natal di Australia, kolapsnya Air Paradise yang membuat penumpangnya terlantar sampai berita TV sepintas yang menarik perhatianku yaitu “sebaiknya surplus keuangan negara dialokasikan untuk apa?”. Ada juga kejadian yang bersifat personal yaitu ujian proposalku akan dilaksanakan pada tanggal 7 Desember nanti., aku tertawa geli melihat pengaturan tanggal ujian oleh bagian administrasi. Akupun bertanya-tanya.
Australia, menurutku, adalah sebuah negara modern namun terpisah jauh secara geografis dari kumpulan negara modern yang kebanyakan berada di belahan utara dunia. Modernisasi sudah menjangkau pelosok-pelosok walaupun karena begitu besarnya areal pelosok sehingga harus diakui level modernisasi abad ini masih belum bisa dipakai untuk menjangkaunya. Kesejahteraan masyarakat menjadi bagian utama dari berbagai aspek kegiatan negara, walaupun harus melewati perdebatan alot di tingkat parlemen. Tidak sama dengan perdebatan yang “kebanyakan” diperlihatkan anggota dewan di negaraku, perdebatan tentang studi banding, tentang tunjangan hari raya mereka, dan kenaikan gaji. Sungguh membanggakan menjadi orang Australia, pemerintah memperhatikan sampai hal-hal yang bersifat personal, sampai memfasilitasi para penumpang yang “ditelantarkan” Air Paradise ke Indonesia ataupun yang sebaliknya. Hal itu yang sempat ku tangkap dari berita pagi ini. Begitu membanggakan memang menjadi orang Australia. Walaupun pemerintah masih belum sanggup menyediakan dokter untuk pelayanan publik di berbagai rumah sakit, namun pemerintah berusaha mendapatkan jalan keluar pemecahannya. Barangkali standarisasi yang cukup tinggi dan ketat sehingga tidak mudah pemerintah menentukan dokter spesialis untuk bekerja di rumah sakit. Tak heran antrean operasi dan pasien yang membutuhkan tenaga spesialis cukup panjang. Hal ini juga barangkali berhubungan dengan pengalaman masa lalu di mana Australia dikecewakan oleh pelayanan seorang ‘dokter gila’. Rasa kebanggaan menjadi orang Australia juga nampak pada ekspresi rasa damai dan nyaman mereka dalam kehidupan kesehariannya. Kebanggaan saat orang Aussie melihat perjuangan pemerintahnya dalam menangani warganya yang terkungkung masalah di negara lain, walaupun menurutku hal itu adalah wajar bagi Pemerintah untuk melakukannya. Kebanggaan karena warga Australia bisa mendapatkan gaji yang layak sehingga mereka bisa merayakan Natal dengan semarak. Ternyata semangat merayakan hari raya warga Australia sama saja dengan warga bangsaku. Mereka juga boros! Sebagian dari mereka bahkan bekerja ekstra keras untuk kebutuhan hari raya. Bedanya, gaji mereka jauh lebih tinggi dari gaji warga bangsaku. Sehingga kadar sebuah televisi baru ukuran standard yang bisa dibeli oleh warga bangsaku sebanding dengan tur wisata ke negara lain bagi warga Australia. Mereka juga bangga bahwa dalam pengelolaan negara, negara bisa mendapatkan keuntungan, tidak defisit. Sehingga diadakan polling, mau dianggarkan kemana keuntungan itu? Pikiranku langsung menerawang ke Indonesia, membayangkan perjuangan pemimpin bangsaku untuk setidaknya membuat keuangan bangsaku tidak defisit. Begitu berat memang perjuangan mereka. Akankah aku di suatu saat kelak mendapatkan pertanyaan polling: mau dianggarkan kemana surplus keuangan negara?
Sayang sekali, rasa bangga dari sebagian warga Australia membuat mereka ternyenyak dalam ke-egoan yang tinggi. Beberapa anak muda dengan tidak segan-segan berteriak “Go home!” kepada orang lain yang berbeda warna kulit. Seperti yang ku alami beberapa kali. Ku yakin itu bukan datang dari orang yang sama. Mereka tidak menyadari bahwa merekapun pernah menjadi pendatang di sebuah tanah yang dianggap sebagai dreamland. Tanah yang dimiliki para pribumi Aborigin namun sekarang telah diduduki bersama. Ternyata ada juga yang masih berpikiran sempit, hampir sama dengan para pemikir sempit warga bangsaku yang (sayang sekali) menjadi ekstrimis.
Wednesday, November 23, 2005
Catatan doeabelas
23 November 2005
Mengingat Denpasar, bagiku, mengingat Puputan Badung dan Puputan Renon. Yang pernah ku pelajari di SD dulu bahwa kata puputan berasal dari perang puputan yang adalah perang habis-habisan. Barangkali nama ini dijadikan simbol dari rakyat Bali yang pantang menyerah, bahkan sampai titik darah penghabisan (menurutku). Sebetulnya nama itu tidak lebih menyentuh perhatianku selain dengan peristiwa yang berhubungan dengan kedua tempat itu. Peristiwa yang terjadi dan tidak berhubungan dengan perang habis-habisan di masa lampau. Namun peristiwa biasa yang semestinya diperlakukan biasa. Namun bagiku (dan barangkali sebagian orang) peristiwa itu luar biasa. Di kedua tempat yang berbeda ini aku pernah melakukan hal yang sama, olahraga pagi. Kelihatannya biasa. Namun, semangat olahraga yang ditunjukkan masyarakat Bali sebagai implementasi dari kesadaran mereka akan pentingnya kesehatan adalah hal yang luar biasa, menurutku. Kedua tempat ini menjadi terkenal, lepas dari kegiatan malamnya yang kadangkala aduhai, karena aktifitas olahraga masyarakat di pagi hingga siang hari, apalagi di akhir minggu. Setidaknya kedua tempat ini merupakan representasi kepedulian pemerintah Denpasar dalam menampung semangat hidup sehat sebagian warganya. Arena ini bukan saja dijadikan tempat olahraga namun juga tempat menghilangkan penat beban berpikir selama seminggu kerja. Tempat di mana orang bisa bercanda di akhir pekan sambil makan bubur ayam, atau apapun itu untuk memenuhi kebutuhan ragawi dan sekaligus mengguyur pikiran dengan canda dan celoteh.
Mengingat Puputan Badung, bagiku, menggambarkan kembali saat subuh, jogging sambil dengar walkman. Menggambarkan tingkahku saat selesai olahraga mencari koran Jawa Pos untuk memenuhi hausku akan berita hari yang baru saja lalu. Menggambarkan diriku yang sementara duduk menunggu hari menghalau kepenatan siang sambil menatap percikan air telaga kecil di bawah patung di sore hari. Sembari sesekali menatap pepohonan di sekitarnya dan kadangkala menggambarkan kembali sebuah pohon besar di pojokan jalan. Ya, menggambar kembali sebuah pohon dipojokan....
Mengingat Puputan Renon, bagiku adalah cerianya pagi yang agak gersang. Sebuah lapangan luas yang begitu panas bila siang tiba, namun begitu ceria bila masih pagi. Untungnya bagian pinggirannya dinaungi pepohonan yang menyejukkan. Walaupun tak sebesar pepohonan di Puputan Badung, namun cukup sejuk dijadikan tempat santai dan canda. Apalagi bila selesai jogging pagi kemudian diikuti dengan sarapan bubur ayam. Iya, barangkali bubur ayam adalah penganan spesial bila olarhaga pagi di Puputan Renon.....
Tuesday, November 22, 2005
Catatan sebelas
22 November 2005
Hari ini diawali dengan berbagai informasi dari Manado. Thanks God, informasinya sama melulu. Bila ada breaking news berarti ada informasi yang mendebarkan. Sebagai orang yang tinggal jauh dari kampong halaman, informasi monoton adalah informasi yang didambakan, bukan penuh surprise. Namun informasi rutin seperti dugaan penyelewengan anggota dewan adalah hal yang memuakkan untuk diketahui. Sayang sekali, informasi positif tentang perkembangan pembangunan masih sangat jauh proporsinya dengan penyelewengan dana dan lain-lain. Hal ini membuat mataku lebih sakit. Sakit karena kelelahan bekerja di depan computer, terkungkung di dalam petak 2 x 2 m untuk merangkum ide-ide besar melintas batas petak. Sayang sekali tubuh memiliki bioritme sendiri, diapun merasa lelah.
Friday, November 18, 2005
Catatan sepoeloeh
7 November 2005
Hari-hari berlalu seperti biasanya. Memburu waktuku untuk segera menyelesaikan setiap step perencanaan penelitianku. Seakan tak mengizinkan aku mendapatkan waktu luang untuk membiarkan imajinasiku membaur dengan alam atau menikmati hiburan imitasi dunia. Aku sendiri yang memutuskan sih. Aku sendiri yang menyibukkan diriku! Aku sendiri yang menceburkan diriku dalam rutinitas pekerjaan di luar studiku. Sehingga setiap jeda bagiku adalah bom waktu. Huh! Namun di lain pihak, kebosanan muncul seiring dengan kesibukanku. Kebosananyang mengiba-iba padaku untuk mendapatkan sedikit saja waktu luang memanjakan diri. Sayang sekali dia belum mendapatkannya sekarang!
Catatan sembilan
25 Oktober 2005
Harus ku akui bergitu banyak rencana yang ingin kulakukan, atau barangkali tepatnya yang harus kulakukan. Aku tidak punya cita-cita menjadi seorang pemimpin, menjadi mentri seperti cita-cita semasa kanak-kanak dulu. Bahkan mungkin anak-anak sekarangpun bercita-cita ingin menjadi pemimpin. Padahal seorang pemimpin (di zaman ini) bukan ditentukan sepenuhnya oleh kepandaian seseorang, penilaian rakyat adalah faktor lain yang harus dipertimbangkan. Tapi, untuk mendapatkan simpati rakyat berarti si pemimpinpun harus pandai-pandai mengambilnya kan? Ah… ternyata keahlian sang pemimpinpun bisa dijadikan ukuran dasar sebelum menjadi pemimpin. Namun beda seorang yang bercita-cita menjadi pemimpin dan menjadi tenaga ahli di salah satu bidang adalah barangkali pada sepak terjang masing-masing. Seorang pemimpin membutuhkan kemampuan lain dan seni memimpin, terkadang juga seorang calon pemimpin tidak perlu pandai namun kaya. Sementara seorang tenaga ahli harus pandai! Tapi, apa gunanya sekolah tinggi-tinggi namun kita berada di bawah kendali orang yang tak sekolah? Sering sang tenaga ahli berada di bawah kontrol orang yang tak melanjutkan sekolah bahkan seorang preman. Namun ini adalah kenyataan, karena di suatu saat di negeri kita preman memang mendapatkan masa keemasannya, ataukah mereka masih mendapatkannya sekarang?
Kembali ke rencanaku. Aku ingin membangun kampung halamanku! Ku ingin mereka mendapatkan kesempatan setidaknya sama dengan aku untuk melihat luar negeri tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun, setidaknya sebagian dari mereka. Sebagian lagi mendapatkan pekerjaan yang bermasa depan. Selain itu, aku ingin mengangkat kampungku agar bisa dikenal, dikenal luas di seluruh dunia! Namun, inti dari rencanaku terhadap kampungku adalah supaya idak ada lagi pertikaian antar warga hanya karena tidak ada pekerjaan atau idak ada uang. Aku ingin membangun suasana kerja anak muda kampungku menjadi pioner bagi kemajuan negara dan dunia masa depan. Kenapa tidak bisa? Aku yakin kampungku bisa! Bukan itu saja, aku ingin membangun semangat juang anak muda di kampungku dan dimana saja aku berada. Benar bahwa anak muda adalah pilar masa depan. Bagiku, kreatifitas berpikir dan bertindak dengan adalah modal dasar untuk mengalahkan kemajuan bangsa-bangsa besar.
Catatan enam
7 Oktober 2005
Nuraniku meminta bahwa bila aku ingin menjadi real scientist, aku harus menulis lebih banyak. Walaupun ku akui, menjadi scientist di negaraku harus lebih pandai dan pandai-pandai. Atau barangkali lebih tepat, harus lebih pandai-pandai daripada pandai saja. Aku tertawa bila mengingat ungkapan ini, karena begitulah sosok seorang peneliti yang kebetulan hidup di Indonesia. Semoga saja, pandangan “pandai-pandai” tidak banyak mengarah ke negatif dan akhirnya mengorbankan idealisme scientific demi uang. Apalagi memanipulasi data dan metode demi uang. Begitu banyak uang yang sudah dikucurkan (walaupun toh harus diakui bahwa begitu banyak juga uang yang disunat) untuk biaya penelitian di Indonesia. Namun, hasil yang dicapai hanya terpajang di perpustakaan atau di arsip kantor sebagai laporan penelitian. Penelitian hanya merupakan pom-pom girl dalam suatu proyek pertandingan. Bukan merupakan pertandingan itu sendiri. Sehingga begitu banyak dana (sekali lagi setelah dipotong oleh pihak yang kurang tahu tentang sebuah penelitian) yang jadi mubazir.
Catatan doea
20 september 2005
Seperti biasanya ku bermimpi pagi. Ada yang menyakitkan, adapula yang menyenangkan. Namun kategori mimpi pagi ini tidak terlalu menyakitkan buatku. Namun sudah cukup membuatku terbangun. Ah, semua mimpi pagiku membangunkan aku, koq.
Bisa kukatakan, pagi ini spesial. Aku, bukan hanya dibangunkan oleh mi mpiku namun oleh nyanyian burung-burung pulau Orpheus. Nyanyian burung yang mengandaikan aku dengan teriakan anak-anak kecil yang sedang bermain. Burung-burung itu bukanlah burung-burung yang kudengar berkicau disamping rumahku setiap pagi. Mereka adalah burung-burung hutan yang mendapatkan sorganya. Teringat akan masa kecilku di kampungku. Mendengarkan burung dari pagi sampai malam. Sampai tiba saatnya orang-orang kampung mengenal senjata dan bergaya cow boy memburu burung-burung itu. Senjata yang hampir saja membunuhku ketika seorang tetangga yang bermaksud menembak burung namun tidak mengetahui bahwa pelurunya nyasar ke pelipisku. Senjata yang dimainkan temanku kepada temannya sehingga menembus tulang kaki temannya. Sejak saat itu kampungku bukan lagi sorga bagi burung-burung. Mereka menghilang entah kemana, menghilang karena memang sudah dihilangkan tanpa bekas atau karena mereka mengungsi ke tempat lain. Sungguh malang nasib mereka. Rumah dan lingkungan yang diwarisi mereka berabad-abad digusur manusia serakah. Tidakkah orang kampungku menyadari bahwa mereka adalah tamu dalam suatu kerajaan hewan dan tumbuhan? Sadarkah mereka juga bahwa setelah dengan paksa membuka lahan dengan merontokkan tumbuhan dan membunuh hewan-hewan, mereka semestinya menghormati tetangga mereka bukan membunuhnya? Tapi itulah mereka, saudara-saudaraku, orangtuaku bahkan aku sendiri yang kadang bertindak serakah terhadap mahluk lain yang memilki peradaban jauh lebih lambat daripada aku. Ataukah aku dan Homo sapiens lain yang terlalu cepat?
Mendengar suara burung dan menikmati keindahan bulu-bulunya membawa aku ke lapangan Puputan. Tempat sebagian orang Bali menikmati waktu santai bersama keluarganya di pagi dan sore hari. Tempat dimana manusia kota berkesempatan berinteraksi dengan alam. Sayangnya, interaksi berat sebelah ini dibatasi oleh kerangkeng besi dan burung-burung berada di dalamnya sementara manusia dengan bebas mengeksploitasi keindahan tubuh dan merdu suaranya. Harus kuakui, walaupun tujuannya untuk menyenangkan manusia namun cara ini akan mengundang burung-burung liar lain memasuki kota. Menjadikannya habitat mereka yang baru. Karena perluasan wilayah adalah juga konsekuensi perkembangan populasi manusia, jadi akupun memaklumi bahwa suatu saat habitat asli burung dan mahluk hidup lain akan berubah. Harapku, pada akhirnya, walaupun ku tak tahu kapan pemasungan ini berakhir, burung-burung itu akan dilepaskan dan berdendang bersama burung liar.
--->>interupted
Catatan satoe
Senin, 19 september 2005
Pagi-pagi aku harus bangun. Bukan pagi-pagi amat sih, namun bangun pagi kadangkala (supaya tidak memalukan diriku) adalah hal yang sangat menjemukan. Apalagi bila hari yang dihadapi adalah hari yang ingin dihindari. Namun, kuakui bahwa hari yang ingin dihindari bukanlah semestinya dihindari namun memang yang diharapkan. Proporsi antara yang diharapkan dan dihindari hampir 50-50.
Jam 7 kurang 5 Hector datang menjemput dengan mobil milik universitas. Mengesankan memang bila memiliki universitas yang menyediakan mobil untuk keperluan penelitian bukan untuk menyenangkan pejabat universitas itu sendiri. Walau dengan hati sumpek, namun karena ada harapan bahwa hari ini aku akan mendapatkan hasil seeding oyster yang sangat menyenangkan, sehingga ku pacu langkahku secepatnya setelah sikat gigi sebentar, maklum baru selesai sarapan.
Satu jam perjalanan tak terasa sudah, kota Ingham di sebelah utara Townsville kami capai. Singgah sebentar di Brunby’s untuk membeli sarapan. Padahal kami berdua sudah mengakui sebelumnya bahwa kita sudah sama-sama sarapan sebelum berangkat. Karena merasa bahwa waktu berangkatnya Ferry dari Taylor’s Beach masih lama, sehingga kami menyempatkan mencari toko yang menjual bir. Alhasil kami menemukannya, tepat di sebelah supermarket Woolworth. Sayang sekali, walaupun tertera bahwa toko minuman itu buka jam 8.30 namun sudah sepuluh menit lebih dari jam itu, tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Akhirnya, dengan kecewa kamipun melanjutkan perjalanan ke pelabuhan tujuan. Lewat sepuluh menit memang bukan hal yang menjemukan bagi orang yang tidak buru-buru. Namun bagi kami, sepuluh menit itu sebanding dengan sejam menunggu mobil tumpangan di kampungku dulu.
Mencapai Taylor’s beach tidaklah begitu lama. Hanya dibutuhkan kurang lebih setengah jam dari pusat kota Ingham. Di sana kami sudah ditunggu Pete, sang skipper yang mengidamkan cewek Indonesia. Dengan semangat dia pernah bercerita tentang cewek Indonesia yang cantik namun patuh, apapun pekerjaannya. Ceritanya itu mengalir dengan lancarnya di malam aku pulang dari Orpheus tempo hari. Sayangnya, dia tidak bercerita tentang cewek Indonesia lagi pagi ini. Dengan basa basi “selamat pagi!” dan “apa kabarmu?”, kamipun memulai dialog pagi yang hangat. Namun ceritanya sangat ringan dan mengambang. Cerita yang tidak perlu diingat, hanya dipakai untuk membunuh waktu saja.
Pagi menyenangkan memang. Laut tidak menggelora. Tenang. Bersama dengan satu keluarga, kamipun menuju Orpheus Island. Saking tenangnya, tanpa sadar aku sudah melamun. Melamun tentang apapun yang melintas di benakku. Semuanya datang dan pergi dengan sendirinya tanpa ku minta dan ku tahan. Aku biarkan lamunanku berjalan seiring dinginnya angin pagi menelusup bajuku. Sampai tiba-tiba mesin perahu itu mati. Akupun kaget, mengapa perahu yang masih baru, toh tetap memiliki masalah? Oh, ya, perahu itu memang masih baru, masih beberapa hari dipakai. Perahu itu menggantikan kerja Challenger, sang perahu yang lebih besar, karena jumlah penumpang yang sedikit dan laut tidak dalam kategori menyeramkan sehingga perahu baru ini mengganti kerja Challenger. Kebanyakan hari-hariku bersama Challenger memang menakutkan, ombak yang tinggi dan rapat membuat bulu kuduk berhamburan keluar dari tubuh. Aneh kupikir, jarak yang cuma sependek itu ditambah lagi dengan jalur ferry yang tertutup beberapa pulau, toh begitu menakutkan saat gelombang besar datang. Namun, hari ini begitu menyenangkan. Walaupun toh tidak sampai sepuluh menit perahu itu sudah bisa berjalan lagi. Dengan diselingi cerita tentang hiu kecil yang tertahan di propeler perahu yang sempat dilihat Hector, kamipun melanjutkan perjalanan ke Orpheus. Tanpa bicara. Hanya diselingi tawa kecil kedua anak keluarga campuran Australia Jepang yang bermain di atas dek.
Setelah sambutan singkat oleh Anna, sang manajer marine station, kamipun berkemas menuju ke penginapan. Seperti biasanya kamipun sekamar, namun kami tidak menempati kamar yang seperti biasanya. Berbenah sejenak, dan kamipun pergi ke laut. Melepaskan tambatan salah satu dinghy dan perahupun melaju ke long-line, tempat kerang mutiaraku tinggal. Lantas kamipun memulai pekerjaaan yang sudah biasa kami lakukan hampir setiap bulannya sejak 4 bulan lalu. Mengangkat panel memang berat, namun menghindari tangan dari sengatan “bulu ayam” laut lebih memberatkan dan menjengkelkan. Sudah banyak kali aku disengatnya. Bahkan saat pertama kali aku membantu Hector mengangkat panel kerang mutiara aku langsung disengatnya habis-habisan. Sejujurnya, mereka memang tidak menyerang aku namun mereka menghalangi pekerjaanku sehingga aku bekerja tanpa menghiraukan mereka dan akupun tersentuh pada bulu laknat itu. Pantas saja dia disebut shit of the sea. Namun di lain pihak aku menyadari bahwa seadainya mereka adalah manusia seperti aku, barangkali mereka sudah berteriak “ akupun layak hidup!” Namun, teriakan mereka lewat kata hatiku tidak menghalangi aku untuk bersabar mengeluarkan mereka yang menempel di tali dan panel. Aku telah belajar bersabar sekarang. Setidaknya itu adalah bekalku dalam menghadapi hari ini yang betul-betul menyebalkan. Kenyataannya, lebih dari setengah kerang mutiara hasil penelitian kami berdua tidak membuahkan hasil. Kebanyakan mutiara memuntahkan kembali inti yang disisip Berni sang seeder 6 minggu yang lalu.
Kami berusaha untuk menghadapinya dengan jernih, walau dalam hati aku tahu bahwa kami berdua mengumpat. Menyalahkan sesuatu yang tidak tahu dimana dan siapa. Menyalahkan banyak pribadi. Tanpa arah umpatan yang jelas. Kekesalan itu akhirnya berakhir saat Hector merasa lapar. Walaupun diiyakan olehku namun sejujurnya aku tidak merasa lapar! Aku merasa sakit hati! Kenapa yang kudapatkan begini? Namun, keberadaanku yang kenyang kesal tidak cukup kuat untuk menahan permintaan Hector untuk mempercepat makan siang. Dulu, bila kita berdua bekerja, tanpa sadar kita belum makan sampai hari sudah sore. Barangkali karena memang hari-hari itu dipenuhi dengan kejutan yang menyenangkan. Sementara kami tidak siap dengan kejutan hari ini yang menyakitkan.
Surat kepada Presiden
Pak Presiden yang terhormat,
Saya mencoba mengirim email dengan berharap email ini sampai ke pak SBY. Saya terkesan dengan keterbukaan yang diberikan dengan membuka jalur kontak ke Bapak lewat SMS dan kotak pos. Semoga manajemen informasi yang datang akan lebih transparan penanganannya mengingat pengalaman masa lalu dengan membuka kotak pos tapi tak transparan penanganannya.
Saya mengirim email ini juga bukan bermaksud meminta sesuatu untuk keuntungan saya. Saya sudah cukup, saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi saya walaupun harus lewat perjuangan. Dan hal itu memang alami. Saya hanya meminta kepada Bapak bahwa bukalah seluas-luasnya akses pendidikan bagi anak bangsa. Sehingga mereka bisa mengenyam pendidikan setidaknya seperti saya atau seperti Bapak. Suatu kebanggaan bila anak bangsa bisa sekolah ke luar negeri, karena bila mau jujur (seandainya bapak bertanya langsung ke hati nurani mereka yang sekolah di luar negeri), hati nuraninya akan menjawab bahwa mereka sekolah di LN karena ingin melihat sesuatu yang baru di dunia baru, bukan semata-mata pendidikan yang bagus. Saya bangga dengan pendidikan kita walaupun ada beberapa hal yang harus dibenahi seperti kesempatan praktek dan inovasi yang banyak dibandingkan teori melulu sehingga anak hanya diajarkan berkhayal (walaupun di lain pihak menghayal itu bagus). Kalau Bapak bertanya kepada saya mengapa saya ingin sekolah di LN, jawaban saya: karena saya ingin mendapatkan uang lebih dari pendapatan gaji saya. Maksudnya begini, lewat beasiswa yang saya dapatkan, saya bisa simpan sebagian dan jumlah yang sebagian itu ternyata jauh lebih besar dari gaji saya sebagai PNS. Saya bisa menikah dan bikin rumah dengan uang itu. Namun, bukan maksud saya meminta ke Bapak untuk menaikkan standard gaji buruh dan PNS dengan alasan gajinya tidak cukup. Maksudku, dengan memperhatikan efek domino, apabila semua sumber keuangan rakyat itu cukup maka otomatis gajinya akan terdongkrak naik. Buatlah hasil pendapatan minyak bumi dan segala tambang (yang satu saat akan habis) untuk memodali usaha yang tidak pernah habis atau yang lama habis seperti bisnis kreatifitas dan jasa, agrikultur dan akuakultur, dan pendidikan & teknologi. Jadikan universitas dan akademi menjadi betul-betul tempat rujukan ilmu dan teknologi dari para praktisi sehingga tidak akan ada dana ganda untuk satu proyek. Maksudnya, jangan jadikan tim pengkaji di instansi sektoral menjadi peneliti yang bisa bertabrakan dengan peneliti di universitas. Gandeng dan optimalkan universitas untuk segala kegiatan yang membutuhkan kajian di setiap departemen. Semoga dengan cara ini kita bisa menghemat. Apalagi dengan lebih menajamkan kuku dan pedang para anggota KPK, uang negara akan banyak diselamatkan. Jangan ragu membabat orang rakus.
Harus diakui, bahwa ternyata di negara kita jasa para manajer tambang dan Direktur BUMN serta pekerjanya jauh lebih besar dari orang yang memberikan pendidikan bagaimana menambang, mengelola perusahaan dan keuangan. Barangkali mereka beralasan bahwa merekalah tumpuan penghasilan negara dan melecehkan pendidik yang mendidik anak mereka, buruh yang membantu mereka, polisi dan tentara yang menjaga keamanan negara, petani dan nelayan yang memberi makan mereka dan legislator yang mengontrol pemerintahan. Singkat pintaku Pak, jangan segan-segan membabat mereka yang sudah hidup di tempat basah dan masih korupsi!
Demikianlah tumpah-rasaku, setidaknya ini dulu yang ku punya. Karena aku juga harus berikan kesempatan kepada Bapak untuk memperhatikan uneg-uneg orang lain lewat surat di kotak pos, anjangsana ke pasar dan ke kampung-kampung. Semoga surat ini bisa terbaca saat Bapak membuka email atau diberikan Pak Andi saat di perjalanan dinas.
Salam saya,
Today is the first day...
Today is the first day for me to open my thoughts to everybody. Unfortunately, as my feeling goes I often use Bahasa Indonesia rather than English or even mix them together.
Subscribe to:
Posts (Atom)