Saturday, November 25, 2006

Catatan delapan poeloeh tiga

Sabtu, 25 November 2006 Sejak di Bali, aku sudah berjanji untuk membawa Nadine jalan-jalan lagi. Pagi ini dia menuntut! Menuntut aku memenuhi janjiku dengan kata-kata andalannya ”not fair! Memang sudah kuingatkan dia akan janjiku semenjak kita bertemu di airport. Pagi ini dia menuntut, sudah dua kali hari Sabtu, katanya! Artinya sudah dua kali weekend! Well, aku juga senang jalan-jalan. Ku rencanakan untuk pergi ke suatu tempat yang baru bagiku dan bagi Nadine. Ku putuskan untuk ke Ros River Dam, sebuah bendungan yang terletak di bagian barat daya kota Townsville. Bendungan ini di bangun sejak tahun 1972, dimaksudkan sebagai penahan banjir sekaligus penyuplai air bagi warga Townsville dan sekitarnya. Sudah kurencanakan bahwa kita berdua akan mengitari bendungan, sehingga kamipun bersiap dengan sepatu trekking, bekal makanan ringan dan minuman dingin dalam eski dan sunscreen. Jam sepuluh pagi kami berangkat setelah mengantar mama Nadine ke tempat kerja. Diapun sama dengan anaknya, berkali-kali berkata ”not fair!” Well, I am sorry cuz you have to go to work, I said. Now is my time to have rest cuz yours is on Monday. Dia gak komplen lagi, karena dia tahu bahwa suatu saat kitapun akan jalan bersama.
Perjalanan kurang lebih 15 km terasa panas. Apalagi saat memasuki areal bendungan. Ku cari jalan masuk tetapi dipenuhi dengan truk dan traktor. Sepertinya ada perbaikan besar-besaran, pikirku. Namun tekadku sudah bulat, aku ingin melihat bagaimana bentuk bendungan itu sebenarnya. Kukitari jalan sekitar bendungan sampai aku terhenti pada sebuah sign ”Road closed”, sambil memperhatikan kendaraan-kendaraan berat hilir mudik. Kita datang bukan pada saat yang tepat, kataku pada Nadine. Dia diam saja, entah menikmati pemandangan sekitar atau kesal, aku tak tahu. Ku putar mobilku 180 derajat, balik ke jalan semula. Nadine tetap diam. Ku ingat bahwa di sepanjang jalan ke bendungan ada beberapa parks di sekitar Upper Ross River. Aku memilih satu diantaranya. Mobil diparkir dan kamipun berjalan menyusuri jalur keci tak beraspal di sisi sungai. Perlengkapan piknikpun dibawa. Pemandangannya indah, namun tak ada satu tempat yang cocok untuk menggelar tikar. Perjalanan sudah agak jauh, namun Nadine tak menghiraukan panas, sementara aku menguatirkannya. Dia tetap saja menyanyi. Sampai akhirnya Nadine terdiam dan berkata, Dad...look at the croc! Ku bilang, mana? Tanpa menunggu jawabannya, akupun mendapatkan sebuah sign dengan gambar buaya. Peringatan bahwa ada buaya di sekitar sungai ini! Akupun langsung mengingat apa yang dikuatirkan istriku bila aku dan Nadine jalan sendiri. Jangan ke tepi sungai, katanya! Jangan ke gunung! Pokoknya banyak jangannya! Barangkali dia telah terpengaruh banyak atas wafatnya Steve Irwin, sang Crocodile Hunter, cerita yang selalu di ulang-ulanginya. Cerita yang sempat membahanakan Australia. Seorang pahlawan lingkungan telah pergi akibat ditikam Pari. Istriku tak melihat dari sisi keberanian dan pahlawannya sebagai sisi positif, namun dia melihat dari resikonya. Alasannya sederhana, yang berani dan tangkas saja bisa kena apalagi yang tidak! Well, barangkali aku berani tapi tak tangkas, pikirnya... atau mungkin tidak keduanya? Walau nyali menciut, tapi kami harus melewati jalan setapak itu lagi, untuk kembali ke mobil. Kali ini mataku lebih awas, tak kubiarkan Nadine jalan menjauhiku. Tapi, tak ku bagikan rasa takutku padanya, cukup sudah dia takut dengan film War of the Worlds yang kami tonton semalam. Kami berjalan lebih cepat, tanpa bicara! Mataku lebih awas, walaupun dia sudah bersorak karena telah melihat mobil kami dari kejauhan. Ku pikir, jangan lengah di saat-saat begini. Walaupun kebanyakan hanya cerita film, namun kelengahan sering muncul saat bantuan sudah dekat. Aku tetap mengawasinya, sampai betul-betul keluar dari track itu. Adrenalin yang meninggi akhirnya mereda seiring perjalanan kami melewati Willows shoppingtown, makan sejenak di red rooster dan pulang ke rumah lagi.

Catatan delapan poeloeh doea

Jumat, 24 November 2006 Hari ini masih terasa kosong. Segala sesuatu yang kulakukan terasa hambar. Barangkali butuh waktu untuk beradaptasi lagi. Ternyata adaptasi tak selalu mudah. Well, yang namanya adaptasi pastilah membutuhkan pengorbanan walaupun itu kecil. Ada yang berubah dalam diriku atau ada yang berubah dalam lingkunganku?

Tuesday, November 21, 2006

Catatan delapan poeloeh satoe

Catatan setahun Tak ada salahnya bila kurayakan sendiri "Setahun usia blog-ku". Terlalu muda! Beberapa blogger karatan pasti mencibirnya. Akupun menerimanya, karena kalau aku tak menerimanya mereka akan mengulanginya lagi :)

Monday, November 20, 2006

Catatan delapan poeloeh

Minggu, 19 November 2006. Akhirnya aku pulang juga. Pulang ke Townsville dengan segala keberadaannya. Kembali ku tempuh rute yang menyebalkan dan membosankan. Pelayanan awak Garuda yang tersenyum saat penumpang datang dan pergi saja, apalagi terhadap penumpang kulit sewarna dengan para awak, kayak diriku. Once again, Brisbane provides herself with the most complicated airport in the world, no clear signs! Seperjalanan denganku dari Brisbane adalah para tentara muda yang memenuhi pesawat. Teringat diriku akan beberapa orang marketing staff yang lebih menginginkan ”Sambungan Langsung Jarak Jauh” dibandingkan telepon ”Lokal” saja. Mereka bisa gila berada di antara para dudes. Ku terlihat kerdil di antara mereka. Diam saja kerjaku. Saat keluar banyak penumpang yang berhasil dikerjain mereka. Dikira mereka berjalan berkumpul menuju tempat pengambilan bagasi, ternyata arahnya ke toilet pria! Hari ini tepat seminggu aku meninggalkan Bali, kembali ke keluargaku. Terasa semuanya masih dekat denganku, sampai ku sadari ternyata banyak yang hilang.

Catatan toejoeh poeloeh toejoeh

Senin, 16 Oktober 2006. Laki-laki Bali semestinya berbangga. Berbangga karena secara tradisi mereka memiliki nilai ”plus” dibanding wanitanya, walaupun toh mereka tak bekerja. Tanggungjawab sebagai kepala keluarga bagi laki-laki Bali sepertinya tidak mesti dilambangkan dengan ”bekerja”, toh banyak juga wanita yang bekerja untuk menghidupi keluarganya. Akupun iri dengan ”keperkasaan” laki-laki Bali. Setidaknya pada sebagian laki-laki Bali. Keperkasaan sang lelaki tercermin juga pada ”nilai” jual mereka saat menikah dan peran ”plus” dalam mengambil keputusan, tak peduli wanitanya berpendidikan atau berpenghasilan tinggi. Namun, di lain pihak, hatiku takkan bisa menahan pilu bila melihat wanita Bali yang bekerja keras sementara suaminya tidak (sebuah kasus di sepanjang jalan antara Pupuan-Seririt, ketika ku melihat sekumpulan wanita mengangkat pasir sementara pemandangan kontras di samping gundukan pasir saat sekumpulan laki-laki bercengkerama satu sama lain). Tak semua laki-laki Bali memang begitu, namun setidaknya fenomena ini mencolok mataku. Akupun mengakui bahwa di Manado kampung halamanku, ada juga yang demikian. Thanks buat Putu Liza untuk sharing-nya

Catatan toejoeh poeloeh enam

Jumat, 29 September 2006. Hari ini adalah hari pertamaku mengajar di Sekolah Dasar di desa Penyabangan. Kegiatan yang dulunya tak kusukai, saat di mana ku melihat betapa malangnya nasib ibu dan bapakku sebagai guru dulu. Sehingga tak terlintas dalam benakku untuk menjadi guru. Gajinya terlalu kecil untuk pengorbanan mereka. Tapi, ada semangat yang terwariskan dan tak ku mengerti sebelumnya namun aku akhirnya toh aku menikmati mengajar di sekolah minggu dan kelompok-kelompok belajar anak-anak. Ya, aku akhirnya menelan ludahku sendiri. Akupun menjadi pengajar tetap di sebuah perguruan tinggi negeri, walau ku tahu bahwa gajinya tetap kecil. Menimbulkan rasa cemburuku kepada para pegawai di instansi milik negara lainnya seperti pertambangan dan perbankan. Padahal mereka bisa karena lewat perguruan tinggi? Logikanya terbalik. Tapi tak apalah, aku tak tahu semangat apa yang menjalari tubuhku, namun aku bertekad untuk memberikan apa yang ku punya kepada bangsaku. Bombastis kedengarannya dan klise, memang. Tapi, itulah aku. Anak seorang guru yang akhirnya menjadi guru walau tanpa gaji. Ya, di sekolah dasar ini aku mengajar tanpa digaji dan memang tak ingin digaji. Ku rasa cukup beasiswa yang kudapatkan dari pemerintah Australia untuk kebutuhanku, mengapa aku harus mengeksploitasi anak-anak bangsa yang kebanyakan terlahir dari keluarga tak berkecukupan? Perjumpaan pertama terasa kikuk. Wajar! Tanpa kikuk kita tak merasakan bagaimana nikmatnya proses adaptasi, sebuah tahap dari evolusi. Aku mencari cara untuk mengikuti irama belajar anak-anak dan di lain pihak aku menyisipkannya dengan gayaku. Kelihatannya anak-anak menikmatinya. Pelajaran pertama adalah Ilmu Pengetahuan Alam. Well, maksud kedatanganku sebelumnya adalah untuk mengajar entah matematika atau Bahasa Inggris. Materi yang sudah disepakati dan telah dipersiapkan sebelumnya. Sesampainya di sekolah, seorang ibu guru mendekati dan memintaku mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial, kaget sebentar namun akhirnya ku menyetujuinya. Sesaat sebelum masuk kelas si ibu tiba-tiba mengingat sesuatu. Dia buru-buru ke kelas dan meninggalkanku di luar. Sebuah buku di tangannya saat dia balik. Diapun meminta maaf bahwa sebenarnya jam pelajaran waktu itu adalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Akupun kaget lagi. Sesaat kemudian aku meminta waktu sejenak dari sang guru sambil membaca buku materi IPA yang dibawa ibu guru. Akhirnya akupun mengajar IPA, materi hari itu adalah tentang kandungan gizi dalam makanan.
catatan tambahan: Aku mengajar di SD 1 Penyabangan hanya sebulan. Itupun hanya tiga kali dalam seminggu, bila aku tak sibuk dengan kegiatan rutinku. Sedih juga meninggalkan mereka...

Catatan toejoeh poeloeh lima

Kamis, 14 September 2006. Thanksgiving day!
Sebelumnya kurencanakan untuk pulang kampung sebelum 17 Agustus, namun tiba-tiba berubah setelah ibuku memberitahuku bahwa pada Minggu 20 Agustus akan diadakan Pengucapan Syukur kampungku. Kegiatan tahunan yang otoritas penentuan tanggal pelaksanaannya ada di tangan Hukum Tua (Kepala Desa) setelah berembuk dengan para pimpinan agama setempat. Kegiatan ini merupakan ucapan syukur desa untuk segala kemurahan dan berkat Tuhan bagi warga kampungku. Walau toh, kegiatan ini sering dilencengkan maknanya dengan minum-minuman keras namun tahun ini tak terlihat warga kampungku mabuk dan (apalagi) berkelahi karena mabuk. Aku senang! Bukan karena aku benci minum alkohol, karena aku juga sering minum. Tapi yang aku benci adalah mabuk dan merusak! Sabtu (19 Agutus) subuh, erangan kematian babi membahanakan kampung. Aku terbangun dan tergoda untuk berjalan mengitari kampung. Benar! Pemandangan yang sering ku lihat di masa aku masih tinggal di kampung ku alami lagi. Orang-orang sibuk menyiapkan kios penjualan di pinggir jalan dan menawarkan daging babi yang baru dibunuhnya. Sepanjang jalan, begitu ramai teriakan penjual dan tawaran pembeli yang diselingi tawaan canda. Kampungku hidup! Petromaks di sana-sini! Mengayunkan bayang manusia bak arena diskotik di pagi hari. Saat matahari terbit, setiap kios menjadi makin ramai, namun menjelang jam 9 pagi semuanya membisu. Kios segera ditutup, laku ataupun tidak jualannya. Bahkan ada yang langsung membagikan daging yang tak laku! Keramaian warga kampungku berpindah ke Pasar Tomohon, kota terdekat dari kampungku. Mereka kelihatannya mendominasi pembelian bahan makanan di pasar itu! Pasar Tomohon memang telah membaca pasar! Mereka tahu bahwa beberapa kampung menyiapkan Pengucapan Syukur, segala makanan hutan disiapkan. Maklum, makanan dari hutan menjadi primadona penjualan saat hajatan seperti ini selain Paskah, Natal dan Tahun Baru. Mulai dari babi hutan, paniki (kelelawar), tikus sampai ularpun ada. Akupun tertarik untuk membeli beberapa paniki, kalau tikus sudah kupesan pada teman sekampungku. Tapi, aku tak berani membeli ular walaupun aku pernah memakannya. Bukan karena aku jijik, namun ku yakin ibuku tak mau memasaknya. Besoknya di gereja, tumpukan bahan natura yang akan diuangkan menumpuk di depan altar. Warga membawa hasil panen terbaik dari usahanya! Tapi, ada juga yang hanya memberi uang. Ibadah selama kurang lebih 2 jam berlangsung hikmat dan bersahaja. Orang-orang begitu menyambutnya dengan wajah cerah! Mereka bersukacita! Jarang aku melihat ini kecuali di saat Natal dan Tahun baru. Secerah para pimpinan gereja yang menyapaku di gerbang gereja dengan wajah heran. Karena aku tiba-tiba muncul gondrong!

Catatan toejoeh poeloeh empat

Kamis, 14 September 2006. Upacara bendera di kampung Sebulan sudah aku tak menulis. Terasa semuanya bagaikan barisan pepohonan yang berlarian dalam perjalanan pulang-pergi Denpasar-Penyabangan. Terasa tak ada yang menyolok mata. Namun, bila ku runut jauh ke belakang, ternyata aku pernah sempatkan diri pulang kampung. Kedatanganku yang tiba-tiba saat dinihari tanggal 17 Agustus membuat ibuku terkejut. Sebetulnya tidak mesti selarut itu bila Lion Air tidak menunda penerbangannya dari Denpasar, yang akhirnya berimbas pada stop over berikutnya, Makassar. Aku tak peduli, yang penting aku bisa bertemu ibuku dan adik-adikku. Mereka yang berkorban untuk sekolahku. Resiko pulang tiba-tiba di waktu seperti itu adalah aku tak mendapatkan tempat tidur. Toh, aku juga pada hari-hari berikutnya tetap saja tak mendapatkan jatah tempat tidur, kecuali sofa di ruang tamu yang menahanku tidur satu arah, otherwise, jatuh! Paginya aku ikut upacara bendera di sebuah lapangan sepakbola di kampungku. Tradisi upacara bendera di kampung memang sudah dilakukan sejak dulu, sejak zaman orde-orde sebelumnya. Namun, toh tradisi ini tetap diminati. Akupun meminatinya! Tak ada kesan keharusan di dalamnya, walau toh rakyat bukanlah pegawai negeri. Mereka bergembira menyambutnya, menonton atraksi anak-anak dengan pakaian warna-warni dan mewakili profesi andalan saat pawai: dokter, polisi dan tentara. Walau mungkin tak sesemarak di Istana Merdeka, namun upacara bendera di kampungku juga adalah ajang atraksi Pasukan Pengibar Bendera yang dipilih oleh tim bentukan kampungku sendiri. Ketat juga seleksinya! Aku bangga dengan mereka! Bangga dengan anak-anak kampungku! Walau mereka harus menahan terik matahari saat latihan yang dilakukan setiap hari sejak sebulan sebelum hari H. Tak hanya itu, merekapun harus menanggung sendiri seragam dan aksesorisnya. Teringat waktu aku menjadi salah satu anggota paskibra di kampungku hampir dua puluh tahun yang lalu. Ku sempatkan berfoto di depan rumahku, betapa gagahnya diriku! Foto itu menjadi foto andalanku di album paling depan kumpulan foto keluarga. Tujuannya jelas, supaya pacarku bisa melihatnya! Atau setidaknya calon pacarku boleh mempertimbangkan diriku untuk menjadi miliknya! Sore harinya, berbagai atraksi dilakukan. Klasik memang, karena suguhan tak pernah berubah dari tahun ke tahun, gerak jalan, lomba lari dan rampasan (panjat pinang). Gerak jalan akhir-akhir ini menjadi ajang pertunjukan para ibu dan wanita muda dengan busana olahraga yang semarak. Dan itu aku setuju. Setidaknya mereka bukan hanya memikirkan dapur dan mengurusi suami, namun juga mempertontonkan kebolehan mereka dalam baris berbaris plus fashion show.

Catatan toejoeh poeloeh tiga

Kamis, 10 Agustus 2006. Dahsyat. Kata itu yang terlontar seketika saat ku menyaksikan sebuah pertunjukan yang hampir sama dengan jaipongan. Penari, yang biasanya wanita, mengundang pria untuk menari bersamanya. Namun, undangan ini bersifat undian, di mana sang pria harus membeli dulu kartu undangannya. Dari nomor undangan yang ku dengar saat dipanggil ternyata banyak juga pria yang haus dansa walaupun mereka harus mengorbankan lima ribuan. Di lapangan kecil yang dipadati penduduk desa, tanpa memandang usia, dansa Genjek Silangjana pun dimulai. Katanya, kata teman setiaku Macan, bahwa kata Silangjana berasal dari nama sebuah kampung di Bali. Seorang wanita muda yang berdandan dengan baju yang berwarna-warni pun masuk lapangan. Mengitari sesaat dan akhirnya diapun bergoyang. Goyang ngebor. Wah,... untung RUAPP belum ditetapkan, ya? Ternyata tak sampai di situ, diapun mengundi siapa pria pilihannya yang akan menari dengannya. Masuklah seorang laki-laki muda, diapun mulai bergoyang mengikuti alur goyangan si gadis. Goyangannya makin panas. Tak tahan, diapun lebih berusaha mendekap si gadis, didekatkan pinggangnya ke pinggang si gadis, ditarik pinggang si gadis kuat-kuat dan dengan nafsu yang luar biasa dia berusaha mencium si gadis. Akhirnya yang terlihat adalah tarian yang berat sebelah, antara laki-laki kesurupan dan si gadis yang terus saja mengelak namun tetap menari dengan gemulai. Dahsyat, begitu mudahnya laki-laki dipermainkan nafsunya, ya? Masuk juga seorang aki-aki, walaupun sudah reot namun jangan dianggap remeh gaya goyangannya. Barangkali karena dia lebih berpengalaman, sehingga dia memulai dansanya secara halus. Dia berusaha mengontrol emosinya, memancing si gadis agar dia yang mendahului. Akhirnya, apa yang diharapkan terjadilah. Tanpa ditarik pinggangnya si gadispun bergoyang erotis mengangkangi si kakek. Saat itulah, kakek mempergunakan kesempatan dengan meladeni goyangannya. Mereka berdua menyatu mencapai klimaksnya. Sampai akhirnya terlemparlah si kakek jauh ke belakang bagaikan kelinci pejantan yang selesai berhubungan, membuat penonton yang sempat terdiam, tertawa. Si aki juga kalah. Pada pertunjukan berikutnya, wanita yang lain masuk arena. Terlihat dia lebih dewasa. Katanya dia janda. Ya, kata si macan. Macan menjadi informan yang sangat penting saat ku memasuki wilayah budaya di Bali yang lebih dalam. Aku tak peduli apakah dia adalah orang yang layak mempresentasikan dirinya sebagai informan, yang penting bagiku aku punya teman bicara. Aku toh juga tak cepat mempercayainya, koq. Sekali lagi, yang penting aku punya teman. Masuknya wanita ini disambut biasa saja. Tak ada yang istimewa kayaknya. Penonton masih menjauh dari pusat pertunjukan, membuatku leluasa berpindah tempat di bagian depan barisan penonton mencari sudut pandang yang luas. Seperti penari sebelumnya, sang wanita ini datang dengan lembutnya, ke tengah dan mulai berdansa. Tiba-tiba saat dia mengangkang, kainnya tersingkap tapi kakinya toh tetap diperlebar. Dengan lincah dia meliukkan pinggulnya lebih keras, sehingga kain penutup pun makin tersingkap. Menyingkapkan ke khalayak warna celana yang dipakainya. Sejenak penonton terhenyak. Sejenak saja. Setelah itu, aku tak bisa melihat lagi. Aku sudah berada jauh di belakang. Areal pertunjukan yang sebelumnya sebesar lapangan voli mengecil dengan cepat, bagaikan menonton pertunjukan sabung ayam. Selebihnya, aku hanya mendengar cerita dari Macan. Karena dia berhasil mempertahankan posisinya untuk tetap di depan.