Wednesday, October 15, 2008

Catatan seratoes lima poeloeh satoe

Ada tiga gubernur yang saya kenal saat ini sementara memimpin, walau ku yakin mereka tak mengenal aku. Mereka adalah: Sinyo Sarundayang gubernur Sulawesi Utara, Fadel Muhammad gubernur Gorontalo dan yang terakhir baru ku kenal, Irwandy Yusuf gubernur Aceh. Sinyo Sarundayang kukenal atas sepak terjangnya lewat beberapa crash programs di awal masa kepemimpinannya. Salah satunya adalah crash program produksi jagung namun (katanya) gagal. Sinyo juga menelorkan ide besarnya dengan mengangkat Manado menjadi penyelenggara World Ocean Conference (WOC) di tahun 2009 yang di dalamnya terkomposisi atas variasi kegiatan mulai dari seminar, eksibisi sampai pertemuan pemimpin negara dunia. Kedua adalah Fadel Muhammad sang pengusaha yang menjadi gubernur. Sepak terjangnya telah mengangkat Gorontalo menjadi provinsi terdepan di Indonesia. Bahkan katanya tingkat kemiskinan di provinsi ini mengalami penurunan drastis. Yang ketiga adalah Irwandy Yusuf. Tak banyak yang ku tahu setelah peristiwa fenomenal hasil pemilihan gubernur Aceh lalu yang memenangkan Irwandy menjadi Gubernur. Keingintahuanku akhirnya terkabul ketika aku menonton kiprahnya dalam "menjual" Aceh ke manca negara. Aceh, menurutnya seharusnya merengkuh modal sebanyak-banyaknya dari luar. Salah satu rencana strategisnya adalah membuat Aceh sebagai septic tanc raksasa bagi ekses emisi karbon. Fantasis! Ya, ketiga gubernur ini memiliki rencana besar dengan strategi tersendiri. Masing-masing memiliki kiat bagaimana mengendalikan kapal raksasa provinsi! Sepakterjang Fadel telah terlihat hasilnya sementara kedua gubernur lainnya belum terlalu terlihat. Namun setidaknya ketiga gubernur ini memiliki kesamaan bahwa mereka memiliki nyali membuat terobosan baru dalam kepemerintahannya dan tidak stagnan. Yang memprihatinkan adalah apabila sang pemimpin tak bisa mengambil resiko namun hanya menjalankan bahtera ke mana saja arus membawanya apalagi menyambung jalan pendahulunya. Parahnya kalau dia mengikuti pendahulunya yang melempem.

Catatan seratoes lima poeloeh

Betapa senang menjadi orang Australia, natal tahun ini adalah natal terbesar, well setidaknya bagi sebagian orang. Hampir lima milyar dollar Australia disiapkan Perdana Menteri Kevin Rudd sebagai Dana Penyelamatan akibat krisis ekonomi global (beritanya ada disini). Uang sebanyak itu ternyata akan dibagikan kepada para pensiunan, keluarga dan individual yang memiliki pendapatan menengah ke bawah, insentif bagi anak, bahkan sampai membantu pembeli rumah segala. Bila kuuraikan disini kupikir akan memicu iri sebagian warga bangsaku. Sehingga aku cenderung ingin menyikapi komitmen pemimpinnya daripada sorak sorai sebagian warga Australia yang mendapatkan rejeki nomplok. Ternyata komitmennya sama saja dengan pemimpin Indonesia. Aktualisasinya (kayaknya) sama juga. Bedanya: Australia memiliki cadangan modal besar, Indonesia tidak! Sehingga menghambur-hamburkan uang untuk kesejahteraan warga (atau juga bisa dibaca: untuk kepentingan politik incumbent) bukan hal yang susah bagi Australia. Indonesia harus dua kali bahkan berkali-kali berpikir sebelum menghamburkan uang untuk warganya (dibaca sebagai dana talangan). Langkah Indonesia masih dalam tahap pembenahan supaya duit negara bisa ditabung. Persoalannya, menabung saja susah apalagi membagi! Harus diakui, kematangan berpolitik dan manajemen kepemerintahan Australia masih di atas Indonesia. Mereka telah melewati pembenahan internal sehingga bisa menabung, Indonesia (sayangnya) belum.

Sunday, October 12, 2008

Catatan seratoes empat poeloeh sembilan

Rumah bukan hanya tempat raga bernaung tapi juga di mana hati bermukim Itu kira-kira yang aku tangkap dari sebuah tulisan tentang seorang artis yang memilih tinggal di tempat yang jauh dari hiruk pikuk walau resikonya dia harus berada jauh dari tempat kerja. Memilih rumah adalah kehendak pribadi masing-masiang, sejauh orang itu memiliki kemampuan memilih. Banyak yang tak memiliki kemampuan memilih (dalam hal ini pilihan itu ditentukan oleh kemampuan finansial) dan tentu tak pernah memimpikan tubuhnya berada di kolong jembatan atau di emperan toko. Tapi bagi mereka yang sanggup memilih (sekali lagi diukur oleh kemampuan finansial), banyak yang masih tak bisa membuat rumah untuk hatinya walaupun tubuhnya ternaungi. Hati memang tak bisa diam, dia sering ke mana-mana. Tapi, dia tetap menginginkan tempat berteduh dan tidur! Sehingga dalam tubuh yang berselimut hangat sekalipun, hati masih tetap meraung bertanya, apakah ini memang rumahku?