Friday, November 18, 2005

Catatan enam

7 Oktober 2005 Nuraniku meminta bahwa bila aku ingin menjadi real scientist, aku harus menulis lebih banyak. Walaupun ku akui, menjadi scientist di negaraku harus lebih pandai dan pandai-pandai. Atau barangkali lebih tepat, harus lebih pandai-pandai daripada pandai saja. Aku tertawa bila mengingat ungkapan ini, karena begitulah sosok seorang peneliti yang kebetulan hidup di Indonesia. Semoga saja, pandangan “pandai-pandai” tidak banyak mengarah ke negatif dan akhirnya mengorbankan idealisme scientific demi uang. Apalagi memanipulasi data dan metode demi uang. Begitu banyak uang yang sudah dikucurkan (walaupun toh harus diakui bahwa begitu banyak juga uang yang disunat) untuk biaya penelitian di Indonesia. Namun, hasil yang dicapai hanya terpajang di perpustakaan atau di arsip kantor sebagai laporan penelitian. Penelitian hanya merupakan pom-pom girl dalam suatu proyek pertandingan. Bukan merupakan pertandingan itu sendiri. Sehingga begitu banyak dana (sekali lagi setelah dipotong oleh pihak yang kurang tahu tentang sebuah penelitian) yang jadi mubazir.

2 comments:

Anonymous said...

Taf, katanya orang Amerika ditumpuk-tumpuk, nggak sampai ke bulan. But, hasil seminar orang Indonesia ditumpuk-tumpuk, sampai ke bulan. Kayaknya, kita lebih pandai berteori daripada berpraktik.

Benarkah? Ternyata tidak juga. Yudi Latif, ilmuwan LIPI, mengatakan "Adalah salah adagium yang mengatakan akademisi Indonesia hanya pandai dalam teori. Kita, lanjutnya, miskin dalam teori, tidak cakap dalam praktik". So, what should we do?

goestaf said...

Haha... masuk akal juga....