Sunday, April 30, 2006

Catatan lima poeloeh toejoeh

Minggu, 30 April 2006. Catatan khusus: A tribute to Pramoedya Ananta Toer saat sosokmu masih ada ku tahu ada jawaban dari ribuan tanyaku walau ku tahu juga bahwa tak satupun yang akan ku tanyakan selamat jalan pram jangan hiraukan tanyaku, biarlah mereka menerawang mencari jawaban di jutaan katamu pada karya-karya yang tak berpemilik lagi

Catatan lima poeloeh enam

Minggu, 30 April 2006. Selamat ulang tahun, MAMA Thanks for your love and care…

Love, Papa & Nadine

Wednesday, April 26, 2006

Catatan lima poeloeh lima

Rabu, 26 April 2006. Siang ini saat makan siang di taman Cafetaria kampus, mataku terpaku pada tingkah pola seekor burung di samping meja makanku. Sejenak aku menyimak apa yang dia lakukan. Ternyata dia mematuk penggalan keju yang terbuang saat orang makan sandwich (or whatever?). Setelah melirik ke kanan dan ke kiri sejenak, diapun mematuk dan membagi-bagi keju itu. Dia memakan salah satu bagian keju itu kemudian mematuk yang lainnya dan terbang ke pohon yang menaungiku makan. Ku tak mempedulikannya setelah itu, kupikir dia sudah terbang dan tak balik lagi. Sambil melahap sandwich ikan kesukaanku aku menikmati matahari siang yang lewat disela2 dedaunan pohon. Well... sebetulnya bukan kesukaanku sih. Aku hanya terpaksa menyukainya setelah melihat betapa ugly-nya masakan yang disajikan setiap hari menurut ukuran lidah manado-ku. Pikiranku kosong sejenak. Membiarkan apa saja yang ter-dria oleh indraku masuk. Burung itu datang lagi, menengok kiri dan kanan sejenak, menelan pilahan keju dan mematuk pilahan lainnya dan terbang. Saat ini akupun langsung berpikir, pastilah dia membawa makanan untuk anak-anaknya. Begitu yakinnya aku, akupun menjejaki setiap dahan yang dihinggapi burung itu. Sampai akhirnya dia hinggap di salah satu dahan di mana bertengger seekor burung. Akupun langsung berpikir, itu pasti pasangannya yang sementara menjaga anak-anaknya. Tapi,... dimana sarangnya? Belum habis aku bertanya, aku tertegun dengan tingkah si burung yang membawa keju. Dia menyodorkan keju ke paruh burung yang satu, kemudian keju itupun diambil oleh burung yang bertengger. Si burung pembawa kejupun langsung menggosok paruhnya ke tubuhnya dan terbang lagi. Balik ke pilahan keju di tanah. Memakan sepilah dan terbang lagi membawa pilahan lainnya ke burung yang menunggu di pohon. Dilakukannya berulang sampai habis keju di tanah.... Pikiranku kosong lagi tapi desir kesejukan melingkupiku... akupun terharu.

Catatan lima poeloeh empat

Selasa, 25 April 2006. Anzac Day Ada yang istimewa di Anzac Day ini. kami diundang oleh city council untuk menghadiri acara “get together” di salah satu park dekat rumahku. Acara yang cuma dihadiri para neighbours memang cukup ramai. Tanpa kata sambutan protokoler yang formal dan membosankan, kamipun langsung dikenalkan setelah terlebih dahulu memperkenalkan diri ke penyelenggara acara. Di sanalah kami saling mengenal lebih dalam siapa yang tinggal sekompleks dengan kami. Setelah acara foto-foto sejenak bersama para tokoh yang terlibat membela Australia tempo hari, kamipun beranjak ke tempat panjat dinding yang disewa penyelenggara. Seumur hidup aku tak pernah memanjatnya, menyentuhnya iya! Ku gunakan kesempatan ini, ternyata kami semua berhasil menumbangkan keperkasaan tebing buatan ini. Well, barangkali tebing itu begitu mudahnya dipanjat oleh pemanjat berpengalaman, sih. Tapi, kami bangga. Sebangga dengan nenek-nenek dan kakek-kakek yang datang memperingati kepahlawanan pasangannya di masa lalu.

Monday, April 17, 2006

Catatan lima poeloeh tiga

Senin, 17 April 2006. Happy Easter! Easter bagiku adalah peringatan bukan perayaan. Peringatan tentang kemenangan dan kebebasan! Dalam konteks Kristen momen ini adalah perayaan, akupun mengamininya! Akupun merayakannya, merayakan kemerdekaanku sebagai kristen. Sebagai bagian dari orang yang terselamatkan. Sederhananya, dari kacamata hubungan vertikal, aku merayakan paskah tapi tidak bila dilihat secara horizontal! Sebagai individu yang berbangsa, dimana sebagian besar hidupku berada, aku masih merasa keterpasungan. Perasaan yang sama bagi banyak orang walau bukan sebagian besar orang di dunia. Terpasung atas nama demokrasi yang menilai suara secara kuantitatif. Menganut uji statistik: signifikan atau tidak signifikan. Ku akui, kebijakan adalah produk yang dihasilkan dengan resistensi minimum. Sayang sekali hal ini menyamaratakan antara kebijakan ekonomi global dan hak hakiki individual yang terpatri sejak dulu; beragama dan berbudaya. Dengan alasan demokrasi kita melegalisasi keinginan mayoritas. Keinginan negara besar dan punya pengaruh global terhadap negara kecil (aku cenderung menyebutnya: mendikte), dan keinginan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.

Monday, April 10, 2006

Catatan lima poeloeh doea

Senin, 10 April 2006 Geli juga rasanya. Aku lebih banyak menulis bila aku berada di Orpheus. Padahal Orpheus tak berarti apa-apa dibandingkan Bunaken. Well, ku tahu cerita ini dimulai dengan logika keliru karena tak ada hubungan antara kemauan menulis dengan komparasi Orpheus dan Bunaken. Hal yang berhubungan barangkali adalah antara ketersediaan waktu dengan kemauan menulis yang klop. Tidak juga, bagaimana bila aku tak ingin menulis namun waktunya tersedia? Aku mungkin melakukan hal yang lain, dan menulis adalah daftar kesekian yang akan kulakukan. Iya, kemauan menulis memang datang saat semua faktor eksternal dan internal mendukung. Terlalu banyak yang harus digambarkan.... Apakah pernyataan ini bukankah pernyataan putus asa? Pernyataan yang tak menginginkan jawaban ataupun memang pernyataan yang lebih dari sekedar putus asa. Pernyataan asalan. Aku teringat ketika dulu aku berdoa. Saat ku tak tahu lagi apa yang akan ku minta, ku akhiri dengan ”Tuhan tahu apa yang ku maksud”. Apakah ini lambang keserakahan diriku yang meminta semuanya tanpa memberikan kesempatan orang lain meminta? Atau hanya karena permainan kata yang terdikte sebelumnya? Tak tahulah. Kembali ke Orpheus, hari ini mendung. Paginyapun menggigil. Ditemani Elena -blasteran Irish dan French-, mahasiswa antropologi dari universitas di Belfast aku datang lagi di Orpheus. Setelah kegiatan rutin yang diwariskan Hector dan well... Elena merasakannya juga, yaitu singgah ngopi dan breakfast di Brumby's-Ingham, kamipun mencapai Taylor’s beach dan dijemput The Challenger ke Orpheus. Lautnya rough, bahkan terasa di areal longline tempat ku letakkan kerang-kerangku. Tempat yang semestinya tenang kecuali badai besar. Sesampainya di Orpheus, aku langsung mengambil satu dinghy dan melanjutkan perjalanan ke longline. Hujan pagi membekukan tubuh yang hanya tidur sekitar 4 jam semalam. Longline kali ini kelihatan berbeban berat dan meliuk. Sepertinya ada tenaga besar yang baru saja merubah posisinya. Padahal si Larry (siklon Larry) kemaren tak sampai membuat dia bergeser kecuali beberapa buoys yang terbenam. Selama tiga jam aku bekerja, ditemani angin dingin yang membawa hujan. Saat itu tak ku keluhkan buoys yang tenggelam, tak ku keluhkan dinginnya angin, tak juga ku keluhkan goyangan ombak. Yang ku keluhkan, kenapa aku sendiri tanpa musik!

Wednesday, April 05, 2006

Catatan lima poeloeh satoe

Rabu, 5 April 2006 Rasa indah kayaknya tak bisa diukur; yang ada hanya lebih indah, indah dan kurang indah. Semua itupun relatif. Relatif karena daya apresiasi kita mengacu dari pijakan yang berbeda. Kalau toh sama, tak betul-betul sama. Bahkan keindahan yang dinilai diri sendiri juga menciptakan konflik. Sehingga tak jarang tak ada pemenang tunggal yang ada hanyalah excuses yang diciptakan diri. Semuanya menjadi pemenang. Ketika aku yang hobi melihat pemandangan, mengumpulkan kerang dan nonton film disodorkan foto yang secara teknis fotografi memiliki standard sama: air terjun, cowrie shell dan Aishwarya Rai, misalnya. Ku akan bilang ketiganya INDAH!

Catatan lima poeloeh

Rabu, 5 April 2006 Pada catatan yang kelimapuluh ini aku ingin membagi cerita yang bagiku cukup unik. Cerita tentang kelapa muda yang ku beli dari supermarket tadi siang. Uniknya adalah saat ku melihat kelapa itu, aku langsung teringat pada sebutan Sulawesi Utara sebagai provinsi Nyiur Melambai. Bila melambai berarti punya daunnya, kemudian punya pohonnya dan punya buahnya. Tidak mungkin banyak pohon kelapa kemudian tak ada buahnya. Ku melihat harga kelapa muda yang dikemas sedemikian rupa dan langsung membandingkan dengan kurs yang sementara berlaku, akhirnya ku dapatkan. Harganya adalah 17.800 (1 AUD=6300) rupiah sebiji. Aku juga langsung mengkalkulasi berapa harga beli sebenarnya, taruhlah harga belinya dari petani adalah 15% dari harga eceran (17.800), maka harga yang didapatkan adalah 3560 rupiah. Ongkos produksi dari sang petani, taruhlah 1500 rupiah, berarti terdapat selisih 2060 rupiah. Bila petani bisa menghasilkan 5000 kelapa per kwartal, berarti dia bisa menghasilkan sepuluh juta rupiah setiap 3 bulan atau 3 juta per bulan.... Aku tak tahu apakah cara kalkulasiku dibenarkan oleh para pebisnis, namun bagiku standard yang ku pakai adalah plafon yang paling rendah. Bagaimana kalau memang harga beli dari petani adalah 20% dari harga eceran, berapa banyak yang dia dapatkan? Lepas dari hitungan bisnis, saat ini aku sementara menikmati enaknya minum kelapa muda dari Thailand, hitung-hitung sambil merayakan catatanku yang ke lima puluh.... wah... ternyata kelapanya dari Thailand? Jarak Thailand-Australia kan lebih dekat Indonesia-Australia? Berarti ongkos kirimnya juga lebih mahal dong dibandingkan dari Indonesia?... Bagaimana petani Indonesia? Manado?

Tuesday, April 04, 2006

Catatan empat poeloeh sembilan

Selasa, 4 April 2006 Ditemani cappuccino, pagi ini aku mengurung di petak kecil yang dipersiapkan perpustakaan bagi pengguna yang memang ingin sendiri. Sendiri dalam hal ini, melakukan kegiatan yang berhubungan dengan baca tulis tanpa ada gangguan orang lalulalang di sekitarnya. Ruangan yang dibuat sedemikian rupa dicat dengan warna krim walaupun banyak juga coretan sana-sini, diperlengkapi colokan laptop, lampu belajar, exhaust bahkan sampai alarm sendiri :). Enak juga sih, namun dasar manusia yang sering tidak puas, maka akupun mulai mengomel. Ku pikir ruangan ini bagaikan kotak isolasi dalam penjara. Memandang kotak sempit ini, terasa lalulintas imajinasiku terhambat. Seandainya kotak ini diperlengkapi jendela selayaknya pada beberapa tempat di perpustakaan ini, begitu nyaman mataku memandang pepohonan dan bukit-bukit di kejauhan. Herannya, cappuccino-ku hampir habis namun aku tetap saja ngantuk. Kebiasaan meminum kopi atau cappuccino memang baru saja ku mulai. Baru kira-kira sebulan. Ku mulai saat ku jalan-jalan di Stockland, kompleks pertokoan terbesar di kotaku, dan mampir di salah satu gerai kopi. Sebut saja namanya The house of Robert Timms, karena tak salah kan kalau aku menyebutnya walau aku tak dibayar sepeserpun mengiklankannya. Aku akhirnya menghafal namanya karena ternyata dia juga memiliki ”rumah” di samping perpustakaan. Sejak saat tu aku mulai menjelajah setiap gerai kopi dan memang aku mendapatkan dua tempat yang menyajikan cappuccino enak; yang pertama adalah rumah-rumahnya Robert Kimm dan yang kedua adalah dapurku sendiri. Di sana sudah tersedia beberapa sachet cappuccino yang ku beli dari toko. Di dapurkulah tempatku bereksperimen dengan cappuccino untuk mendapatkan yang terbaik bagi lidahku. Ada-ada saja si lidah memang, seringkali dia tak mempedulikan makanan sehat tapi yang penting nikmat. Memahami caraku mengenal capuccino mengingatkanku ketika ku mulai mengenal rokok. By the way, apakah aku mulai kecanduan? Well, ku kira tidak. Rokok telah kutinggalkan sejak empat tahun yang lalu. Dan aku tetap tidak mau berjanji untuk berhenti, karena sulit bagiku untuk berjanji. Janji bagiku kadang-kadang adalah resiko. Resiko yang diambil untuk menakar kejujuran. Namun toh, sekarang sudah empat tahun aku berhenti, haruskah aku berjanji? Tidak!... Memang, meninggalkan rokok adalah kebanggaan tersendiri. Kebanggan karena aku bisa memenangi melawan diri dan gengsinya. Walau toh kuakui, dalam kepulan rokok ada hayal yang bebas menerawang, melukis udara. Sekarang cappuccino datang, ku tak tahu seberapa besar kontribusinya kelak. Ku menunggu...

Sunday, April 02, 2006

Catatan empat poeloeh delapan

Bencana datang memang tidak diminta untuk memilih tempat kaya maupun miskin. Negara kaya maupun miskin. Sehingga tak dapat dipungkiri bila bencana melanda negara miskin lebih menyedihkan daripada di negara kaya. Menyedihkan bukan karena kerusakannya namun karena penanganan korban bencana. Sebut saja Innisfail, sebuah kota kecil di Queensland Utara yang baru saja dilanda cyclone Larry. Cyclone yang berkekuatan mencapai kategori 5 meluluhlantakkan rumah dan lahan pertanian. Untung saja, sampai saat ini tidak ada korban jiwa, namun korban material memang cukup banyak. Kota yang memproduksi komoditas pisang dan tebu (90 persen pisang australia berasal dari kota ini) mati sesaat. Namun tak sampai sehari seorang Peter Beattie sang premier sudah mengunjungi bahkan menginap disana, tak sampai 3 hari sang Perdana Menteripun langsung ke sana, bahkan sampai kunjungan yang kedua kalinya. Tim gugus tugaspun dibentuk yang dikomandani Jendral Peter Cosgrove. Tentara Australia di bawah kendalinya dibawa ke sana, walaupun Australia tidak memiliki banyak tentara. Setiap saat di televisi diiklankan penerimaan tentara, bahkan ada tim sampai diturunkan ke universitas untuk promosi. Sang Jendralpun tinggal disana. Misinya jelas, membangun kembali Innisfail. Bila kita berkaca dengan apa yang terjadi dari Indonesia, barangkali kita merasa iri. Kenapa? Taruhlah Indonesia tergolong negara yang tak se-level (baca: sama maju) dengan Australia, namun apakah pemimpin yang tinggal dengan rakyat yang dilanda bencana harus menunggu negaranya menjadi maju? Sulitkah tentara diturunkan dan membantu rakyat di kala bencana datang di saat damai?