Friday, November 25, 2005

Catatan tigabelas

25 November 2005 Begitu banyak yang melintas di benakku pagi ini, namun aku tak sanggup menentukan mana yang utama untuk ku torehkan. Mulai dari kejadian beberapa malam diteriaki oleh orang-orang dari dalam mobil saat ku mengendarai sepeda, suasana menjelang natal di Australia, kolapsnya Air Paradise yang membuat penumpangnya terlantar sampai berita TV sepintas yang menarik perhatianku yaitu “sebaiknya surplus keuangan negara dialokasikan untuk apa?”. Ada juga kejadian yang bersifat personal yaitu ujian proposalku akan dilaksanakan pada tanggal 7 Desember nanti., aku tertawa geli melihat pengaturan tanggal ujian oleh bagian administrasi. Akupun bertanya-tanya. Australia, menurutku, adalah sebuah negara modern namun terpisah jauh secara geografis dari kumpulan negara modern yang kebanyakan berada di belahan utara dunia. Modernisasi sudah menjangkau pelosok-pelosok walaupun karena begitu besarnya areal pelosok sehingga harus diakui level modernisasi abad ini masih belum bisa dipakai untuk menjangkaunya. Kesejahteraan masyarakat menjadi bagian utama dari berbagai aspek kegiatan negara, walaupun harus melewati perdebatan alot di tingkat parlemen. Tidak sama dengan perdebatan yang “kebanyakan” diperlihatkan anggota dewan di negaraku, perdebatan tentang studi banding, tentang tunjangan hari raya mereka, dan kenaikan gaji. Sungguh membanggakan menjadi orang Australia, pemerintah memperhatikan sampai hal-hal yang bersifat personal, sampai memfasilitasi para penumpang yang “ditelantarkan” Air Paradise ke Indonesia ataupun yang sebaliknya. Hal itu yang sempat ku tangkap dari berita pagi ini. Begitu membanggakan memang menjadi orang Australia. Walaupun pemerintah masih belum sanggup menyediakan dokter untuk pelayanan publik di berbagai rumah sakit, namun pemerintah berusaha mendapatkan jalan keluar pemecahannya. Barangkali standarisasi yang cukup tinggi dan ketat sehingga tidak mudah pemerintah menentukan dokter spesialis untuk bekerja di rumah sakit. Tak heran antrean operasi dan pasien yang membutuhkan tenaga spesialis cukup panjang. Hal ini juga barangkali berhubungan dengan pengalaman masa lalu di mana Australia dikecewakan oleh pelayanan seorang ‘dokter gila’. Rasa kebanggaan menjadi orang Australia juga nampak pada ekspresi rasa damai dan nyaman mereka dalam kehidupan kesehariannya. Kebanggaan saat orang Aussie melihat perjuangan pemerintahnya dalam menangani warganya yang terkungkung masalah di negara lain, walaupun menurutku hal itu adalah wajar bagi Pemerintah untuk melakukannya. Kebanggaan karena warga Australia bisa mendapatkan gaji yang layak sehingga mereka bisa merayakan Natal dengan semarak. Ternyata semangat merayakan hari raya warga Australia sama saja dengan warga bangsaku. Mereka juga boros! Sebagian dari mereka bahkan bekerja ekstra keras untuk kebutuhan hari raya. Bedanya, gaji mereka jauh lebih tinggi dari gaji warga bangsaku. Sehingga kadar sebuah televisi baru ukuran standard yang bisa dibeli oleh warga bangsaku sebanding dengan tur wisata ke negara lain bagi warga Australia. Mereka juga bangga bahwa dalam pengelolaan negara, negara bisa mendapatkan keuntungan, tidak defisit. Sehingga diadakan polling, mau dianggarkan kemana keuntungan itu? Pikiranku langsung menerawang ke Indonesia, membayangkan perjuangan pemimpin bangsaku untuk setidaknya membuat keuangan bangsaku tidak defisit. Begitu berat memang perjuangan mereka. Akankah aku di suatu saat kelak mendapatkan pertanyaan polling: mau dianggarkan kemana surplus keuangan negara? Sayang sekali, rasa bangga dari sebagian warga Australia membuat mereka ternyenyak dalam ke-egoan yang tinggi. Beberapa anak muda dengan tidak segan-segan berteriak “Go home!” kepada orang lain yang berbeda warna kulit. Seperti yang ku alami beberapa kali. Ku yakin itu bukan datang dari orang yang sama. Mereka tidak menyadari bahwa merekapun pernah menjadi pendatang di sebuah tanah yang dianggap sebagai dreamland. Tanah yang dimiliki para pribumi Aborigin namun sekarang telah diduduki bersama. Ternyata ada juga yang masih berpikiran sempit, hampir sama dengan para pemikir sempit warga bangsaku yang (sayang sekali) menjadi ekstrimis.

No comments: