Monday, November 20, 2006
Catatan toejoeh poeloeh lima
Kamis, 14 September 2006.
Thanksgiving day!
Sebelumnya kurencanakan untuk pulang kampung sebelum 17 Agustus, namun tiba-tiba berubah setelah ibuku memberitahuku bahwa pada Minggu 20 Agustus akan diadakan Pengucapan Syukur kampungku. Kegiatan tahunan yang otoritas penentuan tanggal pelaksanaannya ada di tangan Hukum Tua (Kepala Desa) setelah berembuk dengan para pimpinan agama setempat. Kegiatan ini merupakan ucapan syukur desa untuk segala kemurahan dan berkat Tuhan bagi warga kampungku. Walau toh, kegiatan ini sering dilencengkan maknanya dengan minum-minuman keras namun tahun ini tak terlihat warga kampungku mabuk dan (apalagi) berkelahi karena mabuk. Aku senang! Bukan karena aku benci minum alkohol, karena aku juga sering minum. Tapi yang aku benci adalah mabuk dan merusak!
Sabtu (19 Agutus) subuh, erangan kematian babi membahanakan kampung. Aku terbangun dan tergoda untuk berjalan mengitari kampung. Benar! Pemandangan yang sering ku lihat di masa aku masih tinggal di kampung ku alami lagi. Orang-orang sibuk menyiapkan kios penjualan di pinggir jalan dan menawarkan daging babi yang baru dibunuhnya. Sepanjang jalan, begitu ramai teriakan penjual dan tawaran pembeli yang diselingi tawaan canda. Kampungku hidup! Petromaks di sana-sini! Mengayunkan bayang manusia bak arena diskotik di pagi hari. Saat matahari terbit, setiap kios menjadi makin ramai, namun menjelang jam 9 pagi semuanya membisu. Kios segera ditutup, laku ataupun tidak jualannya. Bahkan ada yang langsung membagikan daging yang tak laku! Keramaian warga kampungku berpindah ke Pasar Tomohon, kota terdekat dari kampungku. Mereka kelihatannya mendominasi pembelian bahan makanan di pasar itu! Pasar Tomohon memang telah membaca pasar! Mereka tahu bahwa beberapa kampung menyiapkan Pengucapan Syukur, segala makanan hutan disiapkan. Maklum, makanan dari hutan menjadi primadona penjualan saat hajatan seperti ini selain Paskah, Natal dan Tahun Baru. Mulai dari babi hutan, paniki (kelelawar), tikus sampai ularpun ada. Akupun tertarik untuk membeli beberapa paniki, kalau tikus sudah kupesan pada teman sekampungku. Tapi, aku tak berani membeli ular walaupun aku pernah memakannya. Bukan karena aku jijik, namun ku yakin ibuku tak mau memasaknya.
Besoknya di gereja, tumpukan bahan natura yang akan diuangkan menumpuk di depan altar. Warga membawa hasil panen terbaik dari usahanya! Tapi, ada juga yang hanya memberi uang. Ibadah selama kurang lebih 2 jam berlangsung hikmat dan bersahaja. Orang-orang begitu menyambutnya dengan wajah cerah! Mereka bersukacita! Jarang aku melihat ini kecuali di saat Natal dan Tahun baru. Secerah para pimpinan gereja yang menyapaku di gerbang gereja dengan wajah heran. Karena aku tiba-tiba muncul gondrong!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment