Monday, November 20, 2006

Catatan toejoeh poeloeh tiga

Kamis, 10 Agustus 2006. Dahsyat. Kata itu yang terlontar seketika saat ku menyaksikan sebuah pertunjukan yang hampir sama dengan jaipongan. Penari, yang biasanya wanita, mengundang pria untuk menari bersamanya. Namun, undangan ini bersifat undian, di mana sang pria harus membeli dulu kartu undangannya. Dari nomor undangan yang ku dengar saat dipanggil ternyata banyak juga pria yang haus dansa walaupun mereka harus mengorbankan lima ribuan. Di lapangan kecil yang dipadati penduduk desa, tanpa memandang usia, dansa Genjek Silangjana pun dimulai. Katanya, kata teman setiaku Macan, bahwa kata Silangjana berasal dari nama sebuah kampung di Bali. Seorang wanita muda yang berdandan dengan baju yang berwarna-warni pun masuk lapangan. Mengitari sesaat dan akhirnya diapun bergoyang. Goyang ngebor. Wah,... untung RUAPP belum ditetapkan, ya? Ternyata tak sampai di situ, diapun mengundi siapa pria pilihannya yang akan menari dengannya. Masuklah seorang laki-laki muda, diapun mulai bergoyang mengikuti alur goyangan si gadis. Goyangannya makin panas. Tak tahan, diapun lebih berusaha mendekap si gadis, didekatkan pinggangnya ke pinggang si gadis, ditarik pinggang si gadis kuat-kuat dan dengan nafsu yang luar biasa dia berusaha mencium si gadis. Akhirnya yang terlihat adalah tarian yang berat sebelah, antara laki-laki kesurupan dan si gadis yang terus saja mengelak namun tetap menari dengan gemulai. Dahsyat, begitu mudahnya laki-laki dipermainkan nafsunya, ya? Masuk juga seorang aki-aki, walaupun sudah reot namun jangan dianggap remeh gaya goyangannya. Barangkali karena dia lebih berpengalaman, sehingga dia memulai dansanya secara halus. Dia berusaha mengontrol emosinya, memancing si gadis agar dia yang mendahului. Akhirnya, apa yang diharapkan terjadilah. Tanpa ditarik pinggangnya si gadispun bergoyang erotis mengangkangi si kakek. Saat itulah, kakek mempergunakan kesempatan dengan meladeni goyangannya. Mereka berdua menyatu mencapai klimaksnya. Sampai akhirnya terlemparlah si kakek jauh ke belakang bagaikan kelinci pejantan yang selesai berhubungan, membuat penonton yang sempat terdiam, tertawa. Si aki juga kalah. Pada pertunjukan berikutnya, wanita yang lain masuk arena. Terlihat dia lebih dewasa. Katanya dia janda. Ya, kata si macan. Macan menjadi informan yang sangat penting saat ku memasuki wilayah budaya di Bali yang lebih dalam. Aku tak peduli apakah dia adalah orang yang layak mempresentasikan dirinya sebagai informan, yang penting bagiku aku punya teman bicara. Aku toh juga tak cepat mempercayainya, koq. Sekali lagi, yang penting aku punya teman. Masuknya wanita ini disambut biasa saja. Tak ada yang istimewa kayaknya. Penonton masih menjauh dari pusat pertunjukan, membuatku leluasa berpindah tempat di bagian depan barisan penonton mencari sudut pandang yang luas. Seperti penari sebelumnya, sang wanita ini datang dengan lembutnya, ke tengah dan mulai berdansa. Tiba-tiba saat dia mengangkang, kainnya tersingkap tapi kakinya toh tetap diperlebar. Dengan lincah dia meliukkan pinggulnya lebih keras, sehingga kain penutup pun makin tersingkap. Menyingkapkan ke khalayak warna celana yang dipakainya. Sejenak penonton terhenyak. Sejenak saja. Setelah itu, aku tak bisa melihat lagi. Aku sudah berada jauh di belakang. Areal pertunjukan yang sebelumnya sebesar lapangan voli mengecil dengan cepat, bagaikan menonton pertunjukan sabung ayam. Selebihnya, aku hanya mendengar cerita dari Macan. Karena dia berhasil mempertahankan posisinya untuk tetap di depan.

No comments: