Monday, November 20, 2006
Catatan toejoeh poeloeh toejoeh
Senin, 16 Oktober 2006.
Laki-laki Bali semestinya berbangga. Berbangga karena secara tradisi mereka memiliki nilai ”plus” dibanding wanitanya, walaupun toh mereka tak bekerja. Tanggungjawab sebagai kepala keluarga bagi laki-laki Bali sepertinya tidak mesti dilambangkan dengan ”bekerja”, toh banyak juga wanita yang bekerja untuk menghidupi keluarganya. Akupun iri dengan ”keperkasaan” laki-laki Bali. Setidaknya pada sebagian laki-laki Bali. Keperkasaan sang lelaki tercermin juga pada ”nilai” jual mereka saat menikah dan peran ”plus” dalam mengambil keputusan, tak peduli wanitanya berpendidikan atau berpenghasilan tinggi. Namun, di lain pihak, hatiku takkan bisa menahan pilu bila melihat wanita Bali yang bekerja keras sementara suaminya tidak (sebuah kasus di sepanjang jalan antara Pupuan-Seririt, ketika ku melihat sekumpulan wanita mengangkat pasir sementara pemandangan kontras di samping gundukan pasir saat sekumpulan laki-laki bercengkerama satu sama lain). Tak semua laki-laki Bali memang begitu, namun setidaknya fenomena ini mencolok mataku. Akupun mengakui bahwa di Manado kampung halamanku, ada juga yang demikian.
Thanks buat Putu Liza untuk sharing-nya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment