9 Desember 2005
Pagi yang kosong. Penuh warna tapi terasa hambar otakku menginterpretasinya. Semua yang bergerak bagaikan satu garis lurus saja dengan sedikit riak pada beberapa belokan. Tanpa kejutan! Sebagaimana aku melewati hari-hari baru saja berlalu. Semuanya ku jalani dan nikmati sendiri. Kegembiraan yang meluap setelah ujian proposal selesai dengan cepat memudar. Gone with the wind. Yang tertinggal hanya motivasi untuk melalukan kekosongan hari.
6 Desember 2005
Di dalam bus saat berangkat ke kampus
Ku bertemu Curtis dalam perjalananku kali ini. Teman satu ruangan tempo hari sebelum aku pindah ke ruangan yang ku tempati saat ini. Teman seperjuangan selama 3 tahun ke depan, oh setidaknya 2 tahun ke depan. Walaupun aku tak tahu sejauh mana pemahamannya tentang aku, begitu sebaliknya aku terhadap dirinya, namun aku yakin dia mengerti banyak tentang Indonesia, tentang bangsaku. Dia bisa berbahasa Indonesia dengan baik walaupun tidak terlalu lancar. Pengetahuannya tentang bahasa bangsaku didapatnya dari tidak lebih dari 6 bulan tinggal di Indonesia. Melakukan penelitian di sana. Begitu senangnya dia akan masakan Indonesia, walaupun hal itu baru ku ketahui dua minggu yang lalu saat ku menawarkan makan di rumahku. Ku kira dia hanya menyukai makanan negaranya, yang selama ini ku lihat dari caranya memesan makanan di kantin, padahal kantin yang menyediakan makanan apa saja sampai nasi sekalipun. Atau mungkin dia tidak menginginkannya karena nasi yang disediakan sangat jauh berbeda dengan yang biasanya disajikan di kedai pinggir jalan di negaraku sehingga dia menginginkan yang original. Yang asli. Namun itu hanya dugaanku, yang penting dia sangat senang bila ku mengundangnya makan masakanku bahkan dia memastikan bila ku menyediakan masakan yang pedas. Wow!
Curtis bukanlah satu-satunya teman Australia-ku yang bisa berbahasa Indonesia. Bersama kami dalam ruangan yang telah kutinggalkan tempo hari aku juga memiliki teman Naomi, namanya. Dia lebih lancar berbahasa Indonesia dibanding Curtis. Walaupun dia tidak tinggal begitu lama di Indonesia, tepatnya di Manado. Akupun tak pernah menanyakan darimana mereka belajar bahasa bangsaku. Kami berdua bahkan bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia. Bangga memang. Sayang sekali aku tak boleh memupuk percakapan dalam bahasaku di sini. Karena aku harus melatih cara bicaraku, meningkatkan perbendaharaan kataku agar aku makin lancar melakukan kegiatan akademik. Kegiatan yang tidak mengizinkan bahasa lain selain bahasa Inggris. Wajar memang karena aku sekolah di negara yang memiliki Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Sebagai anak yang terlahir dan besar di Indonesia, aku bangga menggunakan bahasa bangsaku. Sebangga anak Australia menggunakan bahasa mereka, kupikir. Mempelajari bahasa negara lain, bagiku, adalah cara mengetahui apa yang dimiliki oleh negara itu. Sayang sekali, kebanyakan referensi dalam bahasa Inggris dan tidak berbahasa Indonesia. Sehingga mempelajari bahasa Inggris adalah memperluas khasanah referensi bacaan, bukan gagah-gagahan. Aku lebih gagah dengan bahasa Indonesia, bahasa bangsaku. Aku mempelajari bahasa Inggris karena aku ingin mengeruk pengetahuan yang dimiliki mereka. Dan membawa the center of knowledge ke Indonesia,... tapi kapan? Sementara aku hanya sebutir pasir dari segunduk pasir bangunan.
Sambungan saat ku berada dalam bis pulang...
Ku ingat apa yang dikatakan oleh guruku dulu, orang Denmark, pembimbing master thesis-ku. dia bilang agar kelak orang Indonesia jangan menjadi orang asing di negara sendiri. Hampir semua ilmu tentang Indonesia dipelajari di luar negeri atau kalau toh studi di dalam negeri, informasi itu didapatkan dari dari referensi asing. Memalukan memang. Tapi itulah bangsaku, bangsa yang dari dulu masih sementara mencari jati diri kebangsaannya. Bangsa yang teraniaya oleh keserakahan bangsa lain sejak dulu, mulai dari zaman kolonialisme sampai pada penjajahan ekonomi saat ini. Bangsa yang diatur oleh bangsa lain. Atau setidaknya oleh bangsa yang mengatasnamakan lembaga moneter dunia atau perserikatan bangsa bangsa. Konsekuensi globalisasi yang belum siap diterima bangsaku. Kata yang diagung-agungkan yang berhubungan dengan segala sesuatu yang bersifat bebas. Sayang sekali bayarannya masih mahal. Di bayar dengan jeritan rakyat akibat monopoli ekonomi, yang katanya memihak para jelata. Rakyat tidak terlindungi, tidak disiapkan menghadapinya. Bekalnya minim! Sebegitu bodohkah bangsaku? Atau adakah yang keliru dalam membenahi bangsa sejak bangsaku merdeka? Kalau ada, sampai kapankah kekeliruan ini teratasi? Kapan bangsaku menggeliat bangkit seperti China dan Korea? Namun sebagaimana terpuruknya bangsaku, dia tetap bangsaku. Walaupun orang lain barangkali hanya menggunakan bangsaku sebagai sapi perahan. Bahkan para pribumi tak teganya menghancurkan sistem perekonomian negara dengan berbagai manipulasi dan korupsi. Dua kata yang sejak dulu terngiang-ngiang namun tanpa arti. Hati mereka sudah membatu. Wajah mereka sudah tebal. Ada saja yang dilakukan untuk ’menyelamatkan’ uang ke dalam kantong.
5 Desember 2005
Di dalam bus saat pulang dari kampus
Barangkali yang kunaiki adalah bus yang sama namun dari rutinitas ini aku menarik sesuatu yang, bagiku, kuanggap unik. Kenapa ku bilang rutinitas? Karena disamping aku meniki bus dengan nomor yang sama aku juga bertemu dengan orang-orang yang sama. Orang yang memiliki jam sama saat pulang dan kadang juga saat datang dan pergi ke kantor denganku. Yang jelas mereka searah denganku, entah aku atau mereka yang turun duluan. Menyimak lebih jauh rutinitas ini, ku berpikir bahwa sebetulnya rutinitas adalah kegiatan entah berpikir atau gerak badan ataupun tidur yang sengaja dijadwalkan manusia dalam kehidupan kesehariannya. Maksud awal sebuah rutinitas adalah mendapatkan waktu yang pas saat kerja atau beraktifitas dan juga mencari waktu luang saat tidak beraktifitas. Barangkali ini masih terlalu abstrak. Namun, by doing this, manusia setidaknya mendapatkan mengalokasikan waktunya sendiri entah untuk pekerjaan atau hal lainnya. Namun, rutinitas yang sebelumnya dirancang untuk mempermudah namun kadang (atau boleh kukatakan sering) membosankan. Sebagai mahasiswa yang rutin belajar dan sebagai pekerja toko yang rutin melayani memiliki kebosanan masing-masing. Namun keduanya tetap bosan.
Hari ulang tahun juga adalah hal yang rutin dirayakan. Bedanya ke-rutinan (jika aku tidak salah mengaplikasikan bahas Indonesiaku) itu berjarak setahun. Apakah hal itu bisa dikatakan rutin, layaknya ritual rutin yang sering dirayakan oleh umat beragama? Ritual yang kadang melupakan makna?Ya... hari ini adalah ulang tahun anakku. Kuingat benar dia yang tidak sempat kutatap lekat-lekat saat dia lahir, aku tersibuki oleh hal yang yang kubenci tapi harus kulakukan. Ku tak bisa mengingat lebih jauh saat ku mengintip ruangan (ruangan saja) tempat melahirkan. Ku ingat saat sang dokter mengangkat satu kaki anakku, memindahkan dia dari ruang persalinan ke tempat mandi. Saat dia menyerahkan anakku ke suster dan ... aku tak tahu lagi apa yang terjadi walaupun saat itu anak itu sudah dekat denganku. Begitu banyak sanak saudara di sekitar ruang persalinan tapi tak bisa ku minta tolong. Minta tolong ke apotik untuk membeli keperluan yang tertinggal. Apotik yang jauh dijangkau. Mereka terlalu excited, excited menyaksikan anakku. Sehingga melupakan aku yang ingin sekali memeluk anakku setelah penantian yang begitu panjang. Aku gelisah menjelang kelahirannya. Selama perjalanan ke apotik aku membayangkan, ya... membayangkan saja, bagaimana anakku menangis waktu dimandikan. Terlalu jauh rasanya perjalanan itu karena saat ku kembali semuanya mengeja kesenangannya sendiri sementara anakku... anakku sudah tidak ada di ruang mandi lagi. Dia dibawa entah kemana oleh sang suster.
1 Desember 2005
Di rumah sambil menunggu pening kepalaku menghilang...
...betapa mudahnya manusia dilemparkan oleh gelombang waktu dari tempat ke tempat, dari perasaan ke perasaan... Pramoedya Ananta Toer, cerpen ”Yang Sudah Hilang”, Cerita Dari Blora.
Di suatu sisi kenyataan ini dibenarkan karena dianggap sebagai suatu kemampuan bertahan hidup dalam strategi adaptasi manusia. Dengan kemampuan ini manusia bisa berkembang dan tidak monoton dalam lingkup peradaban pada sebuah episode hidup dalam ruang waktu tertentu. Waktu, secara otomatis akan berlalu tanpa dipaksa dan tanpa ditahan sekalipun. Namun, perubahan waktu tanpa diikuti dengan perubahan prilaku akan dicap kolot, konvensional, dan lain lain. Sehingga mau atau tidak manusia harus berubah seiring dengan perkembangan waktu. Mengasah strategi beradaptasi. Perubahan ini akan mempengaruhi daya apresiasi manusia terhadap waktu dan situasi. Apresiasi yang banyak dikendalikan intuisi dengan sedikit bumbu nalar manusia. Atau bisa saja sebaliknya. Dengan kemampuan ini, Darwin dan Lamarck bersorak akan pandangan mereka tentang Evolusi. Teori yang didasari atas kemampuan adaptasi organisme melawan alam. Siapa menang, dia maju. Maju ke level berikut menghadapi tantangan baru. Pandangan yang mengesankan bahwa segala sesuatu yang hidup sementara menghadapi pertandingan tanpa akhir. Bagaikan video game, semua mahluk memasuki level pertandingan yang setiap hari semakin menantang, semakin menakutkan. Setiap level ada yang gugur dan ada yang terpilih. Dari yang terpilih akan ada yang terpilih lagi saat melewati level berikut, dan seterusnya. Kenyataan ini membuat manusia mengasah diri dan rasa. Menghadapi pilihan agar bisa terpilih.
Di lain pihak, manusia diperhadapkan dengan idealisme, sumpah dan janji. Keadaan dimana mengikat manusia untuk lurus kepada idealisme, sumpah atau janjinya; dimanapun dan kapanpun. Waktu bukan ikatan. Janji tetap janji. Sebuah ikatan abstrak yang kadangkala lebih kokoh daripada maut sekalipun. Sayang sekali, fenomena ini kadang terjadi.