Friday, December 02, 2005

Catatan enambelas

30 November 2005 Sore hari di bus, saat pulang rumah... Sore ini sang pengendara bus adalah seorang wanita cantik. Maaf bila kategori cantikku bukan hanya penampilan fisik semata namun juga pribadinya. Setidaknya sudah dua kali hingga saat ini aku naik bus yang dikendarainya. Di sapanya penumpang saat naik dan saat turun. Sebenarnya sapa-menyapa adalah hal yang biasa, namun menjadi luar biasa bila hanya sedikit pengemudi yang menyapa penumpangnya. Apalagi menyapanya dengan senyum walaupun ku tahu pekerjaan mereka tidak jauh dari stress fisik dan mental. Jauh sebelum bahkan saat baru tiba di Townsville, aku berpikir bahwa pelayan publik pastilah orang yang murah senyum dan tangkas menolong. Namun kenyataannya, jarang aku mendapatkannya dari supir bus Townsville. Sementara keadaan itu merupakan hal yang lumrah di Denmark, tempat aku kuliah dulu. Sehingga akupun terbiasa dengan perilaku beberapa sopir Townsville yang,... sama saja dengan sopir di negaraku. Apakah itu karena nenek moyang mereka memang berasal dari orang-orang yang terhukum? Ataukah karena mereka dalam tahap perkembangan peradaban Australia, mereka mengalami waktu-waktu sulit untuk bertahan hidup? Ya, Australia tidak sama dengan Eropa tempat tinggal nenek moyang mereka. Begitu berat memang menghadapi tanah gersang kerontang. Sopir sore ini sangat berbeda dengan sopir bus tadi pagi saat aku ke kampus. Sopir yang tak menampakkan senyum dan penuh curiga. Barangkali dia curiga karena ada beberapa orang asing di dalam bus? Aku tak tahu, namun di suatu pemberhentian sang sopir tidak memperhatikan permintaan salah satu penumpangnya yang renta dan tidak bisa berbicara dengan jelas. Orang tua itu akan turun di panti penampungan orang tua, namun karena perhentian bus ada dalam panti tersebut, sopir bertanya kalau ada orang yang akan turun, karena sebelumnya dia mendengar bel tanda berhenti. Karena si sopir tidak tahu pasti siapa yang memencet, diapun bertanya dan dijawab dengan telunjuk tangan yang mengarah ke kakek oleh beberapa penumpang. Sayang sekali si sopir tidak menggubrisnya dan bisnyapun melaju melewati panti. Si kakekpun akhirnya complaint dengan berusaha berbicara walau patah-patah. Akhirnya si kakek diminta turun di perhentian berikutnya, yang jaraknya sangat jauh dari panti. Si kakek tidak mau. Terjadi perdebatan sampai akhirnya si kakek tetap pada tempat duduknya. Semua penumpang termasuk aku, diam saja. Walau aku tahu mereka tahu bahwa si kakek berhak komplen. Aku tak tahu kakek itu diturunkan dimana sementara aku sudah sampai di tempat tujuan. Meninggalkan tanya dan gundah dalam hatiku. Inikah gambaran surga bagi orang yang menginginkan kemakmuran? Ataukah kepalaku terlalu sempait dalam menginterpretasi sebuah negara modern. Acuanku selalu ke Eropah, ke tanah Skandinavia. Barangkali aku harus mereformat otakku agar bisa lebih fleksibel dalam melihat dan bersikap, tanpa ada patokan dan acuan tentang format negara modern. Walau ku akui bahwa akupun berhak untuk menilai dan menimbang.