Wednesday, December 07, 2005

Catatan doeapoeloeh

6 Desember 2005 Di dalam bus saat berangkat ke kampus Ku bertemu Curtis dalam perjalananku kali ini. Teman satu ruangan tempo hari sebelum aku pindah ke ruangan yang ku tempati saat ini. Teman seperjuangan selama 3 tahun ke depan, oh setidaknya 2 tahun ke depan. Walaupun aku tak tahu sejauh mana pemahamannya tentang aku, begitu sebaliknya aku terhadap dirinya, namun aku yakin dia mengerti banyak tentang Indonesia, tentang bangsaku. Dia bisa berbahasa Indonesia dengan baik walaupun tidak terlalu lancar. Pengetahuannya tentang bahasa bangsaku didapatnya dari tidak lebih dari 6 bulan tinggal di Indonesia. Melakukan penelitian di sana. Begitu senangnya dia akan masakan Indonesia, walaupun hal itu baru ku ketahui dua minggu yang lalu saat ku menawarkan makan di rumahku. Ku kira dia hanya menyukai makanan negaranya, yang selama ini ku lihat dari caranya memesan makanan di kantin, padahal kantin yang menyediakan makanan apa saja sampai nasi sekalipun. Atau mungkin dia tidak menginginkannya karena nasi yang disediakan sangat jauh berbeda dengan yang biasanya disajikan di kedai pinggir jalan di negaraku sehingga dia menginginkan yang original. Yang asli. Namun itu hanya dugaanku, yang penting dia sangat senang bila ku mengundangnya makan masakanku bahkan dia memastikan bila ku menyediakan masakan yang pedas. Wow! Curtis bukanlah satu-satunya teman Australia-ku yang bisa berbahasa Indonesia. Bersama kami dalam ruangan yang telah kutinggalkan tempo hari aku juga memiliki teman Naomi, namanya. Dia lebih lancar berbahasa Indonesia dibanding Curtis. Walaupun dia tidak tinggal begitu lama di Indonesia, tepatnya di Manado. Akupun tak pernah menanyakan darimana mereka belajar bahasa bangsaku. Kami berdua bahkan bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia. Bangga memang. Sayang sekali aku tak boleh memupuk percakapan dalam bahasaku di sini. Karena aku harus melatih cara bicaraku, meningkatkan perbendaharaan kataku agar aku makin lancar melakukan kegiatan akademik. Kegiatan yang tidak mengizinkan bahasa lain selain bahasa Inggris. Wajar memang karena aku sekolah di negara yang memiliki Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Sebagai anak yang terlahir dan besar di Indonesia, aku bangga menggunakan bahasa bangsaku. Sebangga anak Australia menggunakan bahasa mereka, kupikir. Mempelajari bahasa negara lain, bagiku, adalah cara mengetahui apa yang dimiliki oleh negara itu. Sayang sekali, kebanyakan referensi dalam bahasa Inggris dan tidak berbahasa Indonesia. Sehingga mempelajari bahasa Inggris adalah memperluas khasanah referensi bacaan, bukan gagah-gagahan. Aku lebih gagah dengan bahasa Indonesia, bahasa bangsaku. Aku mempelajari bahasa Inggris karena aku ingin mengeruk pengetahuan yang dimiliki mereka. Dan membawa the center of knowledge ke Indonesia,... tapi kapan? Sementara aku hanya sebutir pasir dari segunduk pasir bangunan. Sambungan saat ku berada dalam bis pulang... Ku ingat apa yang dikatakan oleh guruku dulu, orang Denmark, pembimbing master thesis-ku. dia bilang agar kelak orang Indonesia jangan menjadi orang asing di negara sendiri. Hampir semua ilmu tentang Indonesia dipelajari di luar negeri atau kalau toh studi di dalam negeri, informasi itu didapatkan dari dari referensi asing. Memalukan memang. Tapi itulah bangsaku, bangsa yang dari dulu masih sementara mencari jati diri kebangsaannya. Bangsa yang teraniaya oleh keserakahan bangsa lain sejak dulu, mulai dari zaman kolonialisme sampai pada penjajahan ekonomi saat ini. Bangsa yang diatur oleh bangsa lain. Atau setidaknya oleh bangsa yang mengatasnamakan lembaga moneter dunia atau perserikatan bangsa bangsa. Konsekuensi globalisasi yang belum siap diterima bangsaku. Kata yang diagung-agungkan yang berhubungan dengan segala sesuatu yang bersifat bebas. Sayang sekali bayarannya masih mahal. Di bayar dengan jeritan rakyat akibat monopoli ekonomi, yang katanya memihak para jelata. Rakyat tidak terlindungi, tidak disiapkan menghadapinya. Bekalnya minim! Sebegitu bodohkah bangsaku? Atau adakah yang keliru dalam membenahi bangsa sejak bangsaku merdeka? Kalau ada, sampai kapankah kekeliruan ini teratasi? Kapan bangsaku menggeliat bangkit seperti China dan Korea? Namun sebagaimana terpuruknya bangsaku, dia tetap bangsaku. Walaupun orang lain barangkali hanya menggunakan bangsaku sebagai sapi perahan. Bahkan para pribumi tak teganya menghancurkan sistem perekonomian negara dengan berbagai manipulasi dan korupsi. Dua kata yang sejak dulu terngiang-ngiang namun tanpa arti. Hati mereka sudah membatu. Wajah mereka sudah tebal. Ada saja yang dilakukan untuk ’menyelamatkan’ uang ke dalam kantong.

No comments: