Tuesday, August 22, 2006
Catatan toejoeh poeloeh doea
Senin, 7 Agustus 2006.
Gerejanya kecil. Tempatnya berada di desa Banyupoh, sebuah desa Bali yang hampir setiap halaman rumah penduduknya ditumbuhi anggur. Anggur Bali, namanya. Karena gedungnya kecil, bisa ditaksir juga berapa banyak jemaat yang hadir di gereja saat ibadah. Namun, walaupun kecil bukan berarti jamahan nuansa modern tidak ada di dalamnya. Dengan ukiran khas Bali pada bagian depan gereja, bagian dalam gereja juga diperlengkapi dengan organ dan berbagai pernik aksesoris penunjang ibadah jemaat. Kecil namun indah. Walau akhirnya kumaklumi bahwa keindahan di saat pertama kali ku lihat merupakan wujud kekaguman sesaat yang nantinya akan muncul lagi bila ku lihat model keindahan lainnya di gereja lain. Setidaknya gereja ini memiliki keunikan tersendiri, yang juga dimiliki oleh gereja-gereja lainnya. Mereka memiliki kadar indah yang berbeda.
Kesan lain yang kudapatkan adalah tak berhubungan langsung dengan gereja. Namun, bagaimana teman-temanku yang beragama Hindu menghargaiku. Ketika mereka memberikan diri untuk mengantarku ke gereja. Ketika wajah kesudian berkerabat tanpa memandang aku berasal dari mana dan dari agama apa bersahaja menerima permintaanku mengantarku ke gereja. Ketika mereka juga membantuku bertemu dengan seorang anggota jemaat meminta klarifikasi jam pelaksanaan ibadah. Akupun teringat ketika kuutarakan keinginanku mengikuti odalan. Saat itu Pura Desa berulang tahun. Tanpa sungkan mereka mengantarku setelah mendandaniku dengan kostum sembahyang yang ku pesan dari temanku lainnya. Ya, dia bekerja di perusahaan mutiara namun dengan smart dia menggunakan kesempatan untuk menjual baju kepada pegawai lain. Aku terpesona. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, ku melakoni tata cara sembahyang orang Hindu. Betapa kayanya negeriku. Aku hanyut dalam ritual, walau toh doa yang ku panjatkan ku bawa kepada Tuhanku. Karena ku tahu, Tuhanku ada di mana-mana dan Dia kukenal. Teman-temanku tak mempedulikannya, toh mereka juga memiliki dewa pelindung masing-masing, pikirku. Wajah-wajah bersahaja menyambutku, menyalamiku,”mas kelihatan gagah”. Akupun tersenyum tersipu, sambil membetulkan kain sarungku yang sering ku injak.
Di gereja, aku bertemu dengan temanku saat sekolah di Denmark dulu. Dia adalah majelis jemaat di gereja mungil itu. Aku terhenyak ketika dia mewartakan tentang sumbangan beasiswa untuk kurang lebih 40 siswa dari tingkat SD sampai ke universitas. Rasa terkesimakupun berlanjut, ketika dia menjelaskan bahwa uang beasiswa itu diberikan setiap bulan dan diambil dari persembahan di gereja. Sebuah gereja yang berpenghasilan hanya lebih sedikit dari sejuta setiap bulannya. Rasa kesan tentang keindahan gereja pudar diganti rasa takjub yang tak terkira ketika saat yang bersamaan ku mengingat bagaimana pengelolaan keuangan di gerejaku, di kampung halamanku yang memandang sebelah mata bagi pengembangan pendidikan jemaat. Berkacalah pada mereka, pemimpin gerejaku! Aku malu melihatnya. Ketika ku ingat cerita ayahku tentang konflik pembagian keuangan yang ujungnya untuk pembangunan fisik, mempermegah gedung gereja sementara jemaat mulai keropos.Namun, bila jemaat pindah ke gereja lain, merekapun dikucilkan. Padahal mereka membutuhkan perhatian lebih, perhatian yang bukan dilambangkan penyediaan fasilitas ibadah yang megah dan mewah saat mereka beribadah. Namun, sanggupkah gereja betul-betul membantu meringankan beban keluarga mereka? Mewujudkan doa para majelis menjadi tindak nyata, karena mereka yang tak berpunyapun bisa berdoa.
Catatan toejoeh poeloeh satoe
Sabtu, 29 Juli 2006.
Setelah melewati hamparan kebun anggur dan tersesat dua kali, akhirnya kamipun menemukan tempat dilaksanakan upacara adat.... Upacara adat yang katanya hanya bisa dilakukan oleh orang yang berasal dari Karangasem. Iya, orang Karangasem bersama penduduk di sekitar Gunung Agung konon saat gunung meletus, mengungsi dan tinggal menetap di daerah Bali utara, salah satunya di desa Banyu Poh.
Sebelumnya aku merasa kuatir, mau dibawa kemana aku? Orang yang baru ku kenal beberapa hari sudah ku percaya membawa diriku melewati perkebunan anggur di waktu malam. Rasanya tak percaya bila ada acara yang begitu ramai harus melintasi jalan setapak di perkebunan anggur dan hanya raungan motor kita yang berbunyi, sunyi. Saat menemui jalan buntu pertama kali, kami langsung dikejar oleh pemilik perkebunan. Tiga lampu senter berlarian ke arah kami. Takut juga tapi geli karena diuber bak penjahat yang tak berdaya. Sesekali Macan bertanya, dengar suara gamelan gak? Aku bilang, gak! Ya, namanya Macan, aku mengetahuinya dari teman-teman sekerja memanggilnya. Ternyata teman-teman sekampungnyapun memanggilnya demikian. Semula ku kira bahwa sebutan itu hanya di tempat kerja. Sempat diberitahu kenapa mereka menamakannya Macan memang, namun tak ku ingat lagi. Mungkin karena artinya tak terlalu berarti bagiku. Macanlah yang menawarkan diri kemarin sore untuk membawaku menonton upacara adat.
Tak disangka, acaranya begitu meriah. Puluhan sepeda motor terparkir di areal perkebunan anggur. Atraksi anak yang menusuk keris ke tubuhnya sungguh mengerikan. Saat irama gamelan menyentak lebih cepat, anakpun makin kesurupan menusukkan keris ke dadanya. Sayang sekali, aku tak bisa lebih dekat untuk mengambil momen permainan keris. Kami terlalu jauh di belakang. Dengan dibantu Macan, perlahan kami bergeser ke depan. Sayang sekali saat kami mencapai barisan depan, atraksi kerispun habis. Pertunjukan selanjutnya adalah tarian para ibu. Ternyata semuanya menari sambil tutup mata. Mereka juga lagi kesurupan, kata Macan. Ku pikir ya mengingat beberapa kali saat musik diam mereka hampir jatuh. Mereka bergerak saat musik dimainkan, bila iramanya dinaikkan merekapun menggila. Mereka tak bisa diam, kecuali musiknya berhenti. Salah seorang ibu terlihat lelah, keringatnya luar biasa, tapi dia tak bisa berhenti. Kasihan.
Catatan toejoeh poeloeh
Minggu, 23 Juli 2006.
Masih terasa pedasnya ayam betutu dari Gilimanuk semalam. Perut seperti kepanasan dan bergejolak. Usahaku untuk bertanya apa artinya betutu, akhirnya ku jawab sendiri. Betutu adalah ayam utuh, tanpa mempedulikan jawabanku diterima atau tidak. Ayamnya memang enak, dagingnya lunak tapi padat. Katanya ayam kampung. Sajian ayam utuh ini dilumuri ramuan cabe yang pedas namun menantang. Bersama dengan ayam ada juga selada air rebus dan 2 jenis sambal; sambal bali dan sambal terasi. Makan di saat lapar memang nikmat. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 40 menit dari Penyabangan akhirnya akupun melihat ujung Jawa bagian timur dari ujung Bali bagian barat, Gilimanuk. Sayangnya, semenanjung Jawa ini tak kelihatan utuh karena gelap. Ku bayangkan bagaimana padatnya area penyeberangan ini di saat lebaran dengan membandingkannya dengan daya tampung pelabuhan yang menurutku kecil. Ah tak usah kupikirkan tentang itu mengingat kebosanankupun belum terobati. Ataukah karena daya adaptasiku untuk lingkungan baru masih rendah? Namun, setidaknya dengan perjalanan ini bisa menyegarkan.
Bangun di pagi ini tak ada yang lebih nikmat selain menunggu matahari muncul. Matahari yang ku kejar sejak pertama kali kujejakkan kakiku di tempat ini seakan malu menghadapkan wajahnya kepadaku. Dia tak mengerti bahwa aku sudah menunggunya sejak 5 hari lalu dan selama ini aku hanya melihat dirinya berselimut kabut. Dia juga tak mengerti bahwa aku sering menunggu kedatangannya sejak 2 jam sebelumnya, menepis dingin dan mimpi-mimpi kosong ketika kuarungi malam. Untung aku bisa tidur, walau kadang kubutuh secangkir arak memicunya, supaya malam cepat berlalu. Ya, malam minggu bersama ayam betutupun cepat usai. Dengan perut panas ku terima tawaran mandi di laut. Ku akui, panasnya perut bukan saja disebabkan ayam betutu, namun beberapa teguk arak yang menemani obrolan dengan teman-teman saat pulang dari Gilimanuk. Menyemplungkan badan di laut dingin, lain rasanya. Sayang, surf areanya kecoklatan. Aku harus ke tengah untuk mendapatkan pemandangan laut yang bersih. Namun, tak lama ku naik dan membilas diri. Ternyata ngopi adalah bagian yang terlewati di rutinitas pagiku, hari ini. Ajakannya lebih memikat.
Catatan enam poeloeh sembilan
Jumat, 21 Juli 2006.
Rasanya ingin kucerca diriku. Ternyata berteman dengan ombak, jangkrik dan angin dingin malam tidak cukup, sementara angan berandai pada mimpi dalam genggaman.
Catatan enam poeloeh delapan
Selasa, 18 Juli 2006.
Dia tak ku kenal lama. Namun berjalan selama dua jam setengah dalam perjalanan ke areal budidaya mutiara yang dimanajeri-nya terasa bagaikan sebuah synopsis cerita yang diperas setelah terkumpul bertahun-tahun. Sebuah kegelisahan dan kerinduan masa depan bangsa Indonesia di mata orang asing. Atau bukankah sebaliknya? Bukankah aku yang terasa asing di hadapan dirinya yang mengetahui banyak tentang negaraku? Contoh praktisnya adalah dia menjelaskan dengan detail setiap inci perjalanan mulai dari aku menumpang mobilnya sampai ke tempat tujuan. Dia lebih Bali daripada kebanyakan orang Bali, apalagi aku. Dengan sesekali bersenandung, diapun menyuguhiku dengan cerita-cerita pasar mutiara, strategi pengembangannya sampai pada kendala pengembangan usaha termasuk berlikunya segala prosedur administrasi pemerintahan yang berhubungan dengan investasi dan produksi. Sesekali pandangannya menatap ke depan dan dengan tajam menyayat nuraniku ketika dia berbicara tentang investasi yang takkan rugi yaitu pendidikan yang ditanamkan sejak dini. Seketika anganku meliuk diantara kumpulan anak jalanan yang terpaksa tak sekolah, terbekali dengan kata-kata kotor sepanjang hayat. Muncul di hadapan wajahku, wajah-wajah memelas anak-anak ingin sekolah dan wajah-wajah orangtua yang berharap bahwa ketidaksanggupan ini hanya mimpi. Tidak! Kemiskinan bukan mimpi! Namun Hak pendidikan dalam Undang-Undang Dasar mungkin masih MIMPI!
Catatan enam poeloeh toejoeh
Minggu, 16 Juli 2006.
Jam 12 malam
Setelah melewati perjalanan jauh dengan penerbangan Garuda dengan sajian makanan yang tasteless, akhirnya sampai juga aku di Bali. Yang harus ku akui dari pelayanan selama penerbangan itu adalah penyajian minuman beralkohol yang nikmat. Tidak, aku tak menggeneralisasi atas contoh kasus yang baru saja ku alami, kebetulan saja itu terjadi padaku. Atau, mungkin hanya aku saja yang merasa demikian. Aku tak tahu pasti. Tak lupa dari perjalanan itu adalah begitu susahnya mencapai terminal penerbangan internasional dari domestik di Brisbane airport. Susah menurutku karena tanda-tanda yang mengarah ke terminal internasional kurang jelas. Tambah lagi, di airport ini aku menghabiskan 4 dollar untuk membawa trolley dan 18 dolar untuk membungkus bagasiku. Ku tepekur, mengapa Sydney dan Townsville, dua bandara yang pernah ku singgahi tidak? Mengapa Denpasar tidak? Mengapa malah Changi dan Schippol tidak? Ups referensi untuk Changi dan Schippol airport barangkali terlalu tua. Juga karena masalah uang sehingga aku seakan mendendam Brisbane. Sekali lagi, aku tak menggeneralisir namun selalu saja ada waktu untuk memikirkan dan membandingkannya.
Untung ada Surya yang mengisi hari kosongku selama di Denpasar. Membawaku ke tempat-tempat yang melepas kesal, makan, ngopi dan makan lagi. Pemelaran tubuh, kataku meledekinya sekaligus juga aku. Hidup memang selalu membandingkan. Makan siangku begitu nikmat, di banding dengan kenikmatan yang kurasakan ketika ku bakar ikan buat Madhav teman Nepal-ku. Ketika sehari sebelum ku berangkat dia ku undang ke rumahku. Ketika dia juga merasa bangga dengan baju batik pemberianku dan berkata terbata bahwa dia terlihat seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden bangsaku. Ketika juga dia memberikan topi khas Nepal yang tak pas di kepalaku. Namun ku bangga menerimanya. Ada jiwa di dalamnya. Ketika kami akhirnya larut dalam percakapan tentang jenis masakan yang baru saja dia makan. Enak, katanya. Tapi, dengan rasa bangga yang tertutup akupun mengalihkan cerita tentang Himalaya dan Mount Everest. Mengapa Mount Everest, tidakkah ada nama Nepalnya? Aku protes! Dia bilang iya, ada! Tapi kami berdua akhirnya maklum bahwa orang barat memang terlalu memonopoli penamaan, demi kejayaan. Ya, ketika akhirnya ku mengingat nama Barthens untuk salah satu gunung di Papua, padahal orang Papua di sekitar pasti memiliki nama lain. Tapi, ah who cares? Ku balik memilih cerita tentang makanan yang memberikan dampak langsung dalam caraku menilai. Ya, aku merasa nikmat. Surya juga. Namun, ku tak tahu apakah dia juga membandingkan dengan makanan yang sebelumnya dia makan? Yang jelas makanannya juga habis.
Pagi sebelumnya aku jalan pagi di Lapangan Puputan. Sebenarnya ku tak berniat, namun ku terbangun terlalu pagi, walaupun aku tidur late night. Katanya jetlag, tapi akupun tersenyum kecut bila hal ini jadi penyebab utamanya. Masalahnya, cuma beda dua jam sih. Lapangan Puputan ternyata makin ramai, apakah ini fenomena meningkatnya kesadaran masyarakat akan olahraga, ataukah karena fenomena baru trend bergaya dan ngedate anak muda di waktu pagi? Aku tak tahu juga. Aku gak peduli, se-gakpedulinya orang-orang kepadaku.
Subscribe to:
Posts (Atom)