Tuesday, August 22, 2006

Catatan enam poeloeh toejoeh

Minggu, 16 Juli 2006. Jam 12 malam Setelah melewati perjalanan jauh dengan penerbangan Garuda dengan sajian makanan yang tasteless, akhirnya sampai juga aku di Bali. Yang harus ku akui dari pelayanan selama penerbangan itu adalah penyajian minuman beralkohol yang nikmat. Tidak, aku tak menggeneralisasi atas contoh kasus yang baru saja ku alami, kebetulan saja itu terjadi padaku. Atau, mungkin hanya aku saja yang merasa demikian. Aku tak tahu pasti. Tak lupa dari perjalanan itu adalah begitu susahnya mencapai terminal penerbangan internasional dari domestik di Brisbane airport. Susah menurutku karena tanda-tanda yang mengarah ke terminal internasional kurang jelas. Tambah lagi, di airport ini aku menghabiskan 4 dollar untuk membawa trolley dan 18 dolar untuk membungkus bagasiku. Ku tepekur, mengapa Sydney dan Townsville, dua bandara yang pernah ku singgahi tidak? Mengapa Denpasar tidak? Mengapa malah Changi dan Schippol tidak? Ups referensi untuk Changi dan Schippol airport barangkali terlalu tua. Juga karena masalah uang sehingga aku seakan mendendam Brisbane. Sekali lagi, aku tak menggeneralisir namun selalu saja ada waktu untuk memikirkan dan membandingkannya. Untung ada Surya yang mengisi hari kosongku selama di Denpasar. Membawaku ke tempat-tempat yang melepas kesal, makan, ngopi dan makan lagi. Pemelaran tubuh, kataku meledekinya sekaligus juga aku. Hidup memang selalu membandingkan. Makan siangku begitu nikmat, di banding dengan kenikmatan yang kurasakan ketika ku bakar ikan buat Madhav teman Nepal-ku. Ketika sehari sebelum ku berangkat dia ku undang ke rumahku. Ketika dia juga merasa bangga dengan baju batik pemberianku dan berkata terbata bahwa dia terlihat seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden bangsaku. Ketika juga dia memberikan topi khas Nepal yang tak pas di kepalaku. Namun ku bangga menerimanya. Ada jiwa di dalamnya. Ketika kami akhirnya larut dalam percakapan tentang jenis masakan yang baru saja dia makan. Enak, katanya. Tapi, dengan rasa bangga yang tertutup akupun mengalihkan cerita tentang Himalaya dan Mount Everest. Mengapa Mount Everest, tidakkah ada nama Nepalnya? Aku protes! Dia bilang iya, ada! Tapi kami berdua akhirnya maklum bahwa orang barat memang terlalu memonopoli penamaan, demi kejayaan. Ya, ketika akhirnya ku mengingat nama Barthens untuk salah satu gunung di Papua, padahal orang Papua di sekitar pasti memiliki nama lain. Tapi, ah who cares? Ku balik memilih cerita tentang makanan yang memberikan dampak langsung dalam caraku menilai. Ya, aku merasa nikmat. Surya juga. Namun, ku tak tahu apakah dia juga membandingkan dengan makanan yang sebelumnya dia makan? Yang jelas makanannya juga habis. Pagi sebelumnya aku jalan pagi di Lapangan Puputan. Sebenarnya ku tak berniat, namun ku terbangun terlalu pagi, walaupun aku tidur late night. Katanya jetlag, tapi akupun tersenyum kecut bila hal ini jadi penyebab utamanya. Masalahnya, cuma beda dua jam sih. Lapangan Puputan ternyata makin ramai, apakah ini fenomena meningkatnya kesadaran masyarakat akan olahraga, ataukah karena fenomena baru trend bergaya dan ngedate anak muda di waktu pagi? Aku tak tahu juga. Aku gak peduli, se-gakpedulinya orang-orang kepadaku.

No comments: