Tuesday, August 22, 2006
Catatan enam poeloeh delapan
Selasa, 18 Juli 2006.
Dia tak ku kenal lama. Namun berjalan selama dua jam setengah dalam perjalanan ke areal budidaya mutiara yang dimanajeri-nya terasa bagaikan sebuah synopsis cerita yang diperas setelah terkumpul bertahun-tahun. Sebuah kegelisahan dan kerinduan masa depan bangsa Indonesia di mata orang asing. Atau bukankah sebaliknya? Bukankah aku yang terasa asing di hadapan dirinya yang mengetahui banyak tentang negaraku? Contoh praktisnya adalah dia menjelaskan dengan detail setiap inci perjalanan mulai dari aku menumpang mobilnya sampai ke tempat tujuan. Dia lebih Bali daripada kebanyakan orang Bali, apalagi aku. Dengan sesekali bersenandung, diapun menyuguhiku dengan cerita-cerita pasar mutiara, strategi pengembangannya sampai pada kendala pengembangan usaha termasuk berlikunya segala prosedur administrasi pemerintahan yang berhubungan dengan investasi dan produksi. Sesekali pandangannya menatap ke depan dan dengan tajam menyayat nuraniku ketika dia berbicara tentang investasi yang takkan rugi yaitu pendidikan yang ditanamkan sejak dini. Seketika anganku meliuk diantara kumpulan anak jalanan yang terpaksa tak sekolah, terbekali dengan kata-kata kotor sepanjang hayat. Muncul di hadapan wajahku, wajah-wajah memelas anak-anak ingin sekolah dan wajah-wajah orangtua yang berharap bahwa ketidaksanggupan ini hanya mimpi. Tidak! Kemiskinan bukan mimpi! Namun Hak pendidikan dalam Undang-Undang Dasar mungkin masih MIMPI!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment