Friday, June 09, 2006
Catatan enam poeloeh empat
Jumat, 9 Juni 2006.
Bangganya anakku menjadi “pohon”.
Mendapatkan peran dalam suatu pertunjukan sekolah adalah sangat menyenangkan. Walaupun menampakkan wajah yang menolak malu-malu namun hati berbicara lain. Dia bersorak! Apalagi kalau mendapatkan peran utama. Nadine tidak mendapatkan peran utama dalam pertunjukan di kelasnya. Pertunjukkan yang mengisahkan penyelamatan sang Putri oleh seorang Pangeran. Bersama dengan beberapa temannya, dia menjadi pohon yang tak lebih dan tak kurang hanya berdiri tegak dan tumbang saat Pangeran mengayunkan pedangnya. Namun, peran itu sangat disukainya. Saat pertama kali dia mengatakannya dengan begitu menggebu pada kami berdua, aku tertegun. Hati kecilku yang sombong berkata:”kenapa tak menjadi sang putri atau salah satu peri?” Aku bersama istrikupun tersenyum geli. Kami berdua berpikir sama. Kami berdua berpendapat, apa artinya peran sebagai pohon, kenapa tak menjadi salah satu peri atau putri? Namun, kami berdua tetap mendukung dia, membeli baju hijau dan beberapa pernik pohon, dll. Seiring dengan penantian hari H pertunjukkan, anakku tak menampakkan wajah murung bila pertanyaan yang sama ku ulang,”kenapa jadi pohon?” Begitu excited-nya dia menjawab, kalau pohon dia akan dihias dengan kertas hijau, wajah akan dicat hijau dan berbagai pernak-pernik pohon akan dipakainya, dst...dst. Kebanggaan yang makin menggebu dipancarkannya. Akupun merenung, menantang pongahku. Betapa bijaksananya sang guru yang membagi peran, dia berhasil membawa anakku pada pemahaman bahwa menjadi pohonpun sangat berarti. Ketika ku membandingkan dengan keinginan manusia yang muncul sejak kecil untuk dihargai (it’s about Maslow’s again), pelajaran ”menjadi pohon” ini membawaku pada pemahaman bahwa peran utama bukan segalanya.
Hari H pun tiba, orang tua murid berkumpul di kelas, menyaksikan pertunjukkan anak-anaknya. Pertunjukan diawali dengan merunduknya semua pohon di tanah. Senyap sejenak. Sang putripun memasuki stage, menuju ke puri di tengah ”pepohonan”. Di sana dia bersenandung kemudian tertidur (katanya dia tertidur 100 tahun). Kemudian masuklah peri yang membawa majic wand, mereka bergembira mengitari pepohonan. Pohon-pohonpun bersorak dan menari. Tiba-tiba muncullah sang pangeran, dia melihat dari kejauhan puri yang ada di tengah hutan. Makin dekat ke arah puri, jalannya makin terhalang. Diapun terpaksa memotong pohon-pohon yang menghalanginya, suasana menjadi mencekam. Namun, setelah dia mendapatkan sang putri semua pohonpun bangun dan bersorak. Akhirnya, mereka berdua dinikahkan oleh sang bishop. Akhir cerita, merekapun semua berbahagia. Plok plok plok...suasana riuhpun terdengar dari orang tua murid, menyoraki anak-anaknya di panggung. Sampai... tiba-tiba seorang ibu masuk ke kelas dan berteriak; ”the ticket man is coming! The ticket man is coming!” Suasanapun berubah, semuanya bergegas ke tempat parkir kendaraan. Kelas tiba-tiba senyap. Jatah setengah jam parkir mobil di depan sekolah ternyata sudah lewat. Malangnya, satu mobil terlanjur kena denda.
Monday, June 05, 2006
Catatan enam poeloeh doea
Senin, 5 Juni 2006.
Tersenyumlah Jogjaku...
Kenapa musti Jogja? Kalimat itu terlintas berkali-kali di benakku. Bahkan jauh sebelumnya kalimat yang sama juga melintas saat bencana melanda Nabire, Aceh dan Nias. Akhirnya pertanyaan itupun melebur luruh seiring dengan ketidakmampuanku mengira-ngira mother nature. Walaupun toh hati ini teriris melihat beruntunnya bencana yang memorak-porandakan bangsaku. Kenapa Indonesia? Bangsa yang bergelut dengan persoalan menumpuk peninggalan masa lalu: utang & kemiskinan (dua dari sekian warisan yang bisa kusebut). Tak layakkah negaraku berdiri sederajat dengan negara yang berhasil menekan jauh kemiskinan dan kebodohan? Oooh, pertanyaan-pertanyaan yang tak ku tahu siapa yang akan menjawabnya, merekapun luruh lagi.
Tapi, kuingin Jogjaku tersenyum lagi. Aku bukan pemilikmu, namun Aku adalah salah satu yang melintas tanahmu tepat sepuluh tahun yang lalu. Menikmati malam di Malioboro. Aku yang ternyenyak dengan senyummu di andong melintasi liku jalanmu, terbuai dengan alunan musik keraton dan kenyang dengan nikmatnya gudeg.
Gambar di atas berasal dari kaos produk Dagadu kesayanganku, pemberian sahabat karibku.
Saturday, June 03, 2006
Catatan enam poeloeh satoe
Jumat, 2 Juni 2006.
Di sofa sambil tiduran sore hari.
Walaupun Queensland terkenal panasnya minta ampun, namun akupun merasa kedinginan belakangan ini. Winter yang datang lebih cepat dari yang diperkirakan, mampu menepis kepandang-entenganku tentang dinginnya di daerah yang didominasi dataran gersang ini. Selama ini aku masih terus berbangga dengan winter-nya eropa barat yang jelas tak bisa dibandingkan. Begitu idiotnya aku membandingkan kadar dingin dua tempat yang memiliki letak geografis yang berbeda. Yang satu dekat kutub sedangkan yang lainnya dekat katulistiwa. Atau barangkali karena dulu aku dengan penuh bangga buka baju saat salju turun dan suhu udara di bawah nol? Kuakui, iya. Semangat muda yang distimulir beer dan wine masih juga terbawa saat ini. Well, maksudku, semangat yang lebih muda dari usiaku saat ini masih juga kubawa, hmhh ;-). Kuakui juga, IYA. Puas? Huh, tapi kenapa tubuhku merasa kedinginan? Akupun melakukan survey. Walaupun tak mematuhi kaidah statistik namun aku bertemu dua orang teman skandinavia, siang ini. Mereka berdua dilahirkan dan dibesarkan di negara nordic berbeda. Walau tanpa ku bertanya sekalipun aku langsung menyimpulkan bahwa merekapun kedinginan, hanya lewat sweater (oz: jumper) yang dipakai mereka. Dengan senyum akupun berlalu dalam kebanggaan. Tapi, tunggu dulu, bagaimana kalau mereka berdua kena flu? Sayang sekali, pertanyaan itu terlambat datang. Dia datang saat aku sudah di sofa rumahku sambil tiduran.
Friday, June 02, 2006
Catatan enam poeloeh
Jumat, 2 Juni 2006.
Terlibat aktif dalam fordis dan milis menguras energi tersendiri. Namun disanalah sisi lain dari Sang Diri menjelma. Di sana kita bisa menjelma menjadi seorang bijak atau sang agitator, menjadi pahlawan atau pengkhianat. Ada yang mengatakan bahwa dalam diri manusia, sesuci apapun dia tetap saja ada setan di dalamnya, sekecil apapun dia. Aku tak tahu siapa yang mengatakannya, namun tak juga memaksaku mempercayainya. Barangkali, dalam kondisi ini aku cenderung imbang, cenderung berada di gray area. Walau toh orang bilang bahwa gray area adalah tanpa pendirian, namun itulah pendirianku. Pendirian yang menyangkut sisi baik dan buruk manusia. Namun, tak bisa kusangkal bila ada yang berpendirian di salah satu kutub, baik atau buruk.
Lepas dari baik-buruknya gagasan dan pandangan kita, melibatkan diri dalam forum diskusi dan mailing list, adalah gambaran ”desire” kita untuk bersosialisasi dalam wujud ekspresi kecemasan diri terhadap dunia dan aktifitasnya, sharing info, bahkan sampai pada unjuk kebolehan. Tak bisa disangkal memang, ternyata ada sisi diri yang minta dihargai. Namun, sayang, kadangkala diri (baca: ego) kita keterlaluan. Maslow, you've got it, again!
fordis & milis tempatku melibatkan diri aktif:
Fordis Sulutlink
Fordis Harian Komentar
Alumni Ilmu & Teknologi Kelautan Unsrat
Sulut BOSAMI
Asian Fisheries Society
Indonesian aquaculture
Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia
Pearl forum
Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia-James Cook University
Universitas Sam Ratulangi
Export-Import Indonesia
Sejuta Puisi
ex Tropical Marine Mollusc Programme members
Subscribe to:
Posts (Atom)