Tuesday, April 04, 2006
Catatan empat poeloeh sembilan
Selasa, 4 April 2006
Ditemani cappuccino, pagi ini aku mengurung di petak kecil yang dipersiapkan perpustakaan bagi pengguna yang memang ingin sendiri. Sendiri dalam hal ini, melakukan kegiatan yang berhubungan dengan baca tulis tanpa ada gangguan orang lalulalang di sekitarnya. Ruangan yang dibuat sedemikian rupa dicat dengan warna krim walaupun banyak juga coretan sana-sini, diperlengkapi colokan laptop, lampu belajar, exhaust bahkan sampai alarm sendiri :). Enak juga sih, namun dasar manusia yang sering tidak puas, maka akupun mulai mengomel. Ku pikir ruangan ini bagaikan kotak isolasi dalam penjara. Memandang kotak sempit ini, terasa lalulintas imajinasiku terhambat. Seandainya kotak ini diperlengkapi jendela selayaknya pada beberapa tempat di perpustakaan ini, begitu nyaman mataku memandang pepohonan dan bukit-bukit di kejauhan.
Herannya, cappuccino-ku hampir habis namun aku tetap saja ngantuk. Kebiasaan meminum kopi atau cappuccino memang baru saja ku mulai. Baru kira-kira sebulan. Ku mulai saat ku jalan-jalan di Stockland, kompleks pertokoan terbesar di kotaku, dan mampir di salah satu gerai kopi. Sebut saja namanya The house of Robert Timms, karena tak salah kan kalau aku menyebutnya walau aku tak dibayar sepeserpun mengiklankannya. Aku akhirnya menghafal namanya karena ternyata dia juga memiliki ”rumah” di samping perpustakaan. Sejak saat tu aku mulai menjelajah setiap gerai kopi dan memang aku mendapatkan dua tempat yang menyajikan cappuccino enak; yang pertama adalah rumah-rumahnya Robert Kimm dan yang kedua adalah dapurku sendiri. Di sana sudah tersedia beberapa sachet cappuccino yang ku beli dari toko. Di dapurkulah tempatku bereksperimen dengan cappuccino untuk mendapatkan yang terbaik bagi lidahku. Ada-ada saja si lidah memang, seringkali dia tak mempedulikan makanan sehat tapi yang penting nikmat.
Memahami caraku mengenal capuccino mengingatkanku ketika ku mulai mengenal rokok. By the way, apakah aku mulai kecanduan? Well, ku kira tidak. Rokok telah kutinggalkan sejak empat tahun yang lalu. Dan aku tetap tidak mau berjanji untuk berhenti, karena sulit bagiku untuk berjanji. Janji bagiku kadang-kadang adalah resiko. Resiko yang diambil untuk menakar kejujuran. Namun toh, sekarang sudah empat tahun aku berhenti, haruskah aku berjanji? Tidak!... Memang, meninggalkan rokok adalah kebanggaan tersendiri. Kebanggan karena aku bisa memenangi melawan diri dan gengsinya. Walau toh kuakui, dalam kepulan rokok ada hayal yang bebas menerawang, melukis udara. Sekarang cappuccino datang, ku tak tahu seberapa besar kontribusinya kelak. Ku menunggu...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment