Sunday, April 02, 2006

Catatan empat poeloeh delapan

Bencana datang memang tidak diminta untuk memilih tempat kaya maupun miskin. Negara kaya maupun miskin. Sehingga tak dapat dipungkiri bila bencana melanda negara miskin lebih menyedihkan daripada di negara kaya. Menyedihkan bukan karena kerusakannya namun karena penanganan korban bencana. Sebut saja Innisfail, sebuah kota kecil di Queensland Utara yang baru saja dilanda cyclone Larry. Cyclone yang berkekuatan mencapai kategori 5 meluluhlantakkan rumah dan lahan pertanian. Untung saja, sampai saat ini tidak ada korban jiwa, namun korban material memang cukup banyak. Kota yang memproduksi komoditas pisang dan tebu (90 persen pisang australia berasal dari kota ini) mati sesaat. Namun tak sampai sehari seorang Peter Beattie sang premier sudah mengunjungi bahkan menginap disana, tak sampai 3 hari sang Perdana Menteripun langsung ke sana, bahkan sampai kunjungan yang kedua kalinya. Tim gugus tugaspun dibentuk yang dikomandani Jendral Peter Cosgrove. Tentara Australia di bawah kendalinya dibawa ke sana, walaupun Australia tidak memiliki banyak tentara. Setiap saat di televisi diiklankan penerimaan tentara, bahkan ada tim sampai diturunkan ke universitas untuk promosi. Sang Jendralpun tinggal disana. Misinya jelas, membangun kembali Innisfail. Bila kita berkaca dengan apa yang terjadi dari Indonesia, barangkali kita merasa iri. Kenapa? Taruhlah Indonesia tergolong negara yang tak se-level (baca: sama maju) dengan Australia, namun apakah pemimpin yang tinggal dengan rakyat yang dilanda bencana harus menunggu negaranya menjadi maju? Sulitkah tentara diturunkan dan membantu rakyat di kala bencana datang di saat damai?

No comments: