Sunday, March 26, 2006
Catatan empat poeloeh toejoeh
Senin, 20 Maret 2005
Surat Buat Presiden
Ini suratku yang ketiga.
Entah kenapa aku memiliki perasaan yang lain melihat bangsaku saat ini. Aku memang melihatnya dari negeri orang, negeri yang saat ini sementara membuat bangsaku marah. Negeri yang memberikan visa proteksi kepada beberapa warga papua yang melarikan diri (bila itu cocok kuistilahkan) dari negerinya Republik Indonesia. Dari akumulasi persoalan penerapan SKB 2 menteri, RUU pornografi dan pornoaksi, Freeport dan beberapa persoalan di Papua, sepertinya negaraku sengaja digiring oleh sekelompok orang yang memiliki power entah tersembunyi maupun terbuka ke arah keretakan negaraku. Kalau toh bukan, fenomena ini akan dijadikan dasar bagi sekelompok orang untuk membawanya ke kehancuran bangsa. Mereka sengaja membiarkannya bergulir. Barangkali ini hanya perasaanku, perasaan tanpa dasar kuat. SKB dan RUUPP bagiku menusuk hak paling mendasar manusia. Hak yang hampir disejajarkan dengan Hak untuk Hidup. Sementara hak mendasar itu bertumbuh dari embryo yang berbeda sehingga menghantarkan ke pemahaman yang pasti berbeda pula. Agama, bagiku, walaupun dipahami memiliki tujuan sama namun memiliki dasar pijakan yang berbeda, yang tidak bisa saling intervensi. Namun demikian, tidak ada kekuatan yang lebih kokoh yang bisa mengaturnya, termasuk Undang Undang sekalipun. Kalau Undang-Undang masuk ke dalamnya, berarti Undang Undang itu memaksakan diri menjadi ”agama” yang baru, agama yang tak ada pemeluknya, yang ada hanya penopangnya. Itupun karena terpaksa (atau dipaksa?). Hal yang sama juga dengan pandangan manusia terhadap moral. Ku akui bahwa sebagian besar pandangan itu disaring oleh budaya dan agama. Selebihnya adalah kreatifitas akal dan rasa manusia. Karena ini tergolong hal yang mendasar, yang sejajar dengan hak hidup, maka itupun tak bisa diintervensi, baik oleh pemahaman lain apalagi penguasa. Hal ini tidak bisa diseragamkan, kecuali bila kita mengadopsi kepemimpinan totaliter. Sayang sekali, gaya kepemimpinan ini sangat bertolak belakang dengan kebebasan ekspresi manusia, sehingga kurang diminati, walau ku akui bahwa masih ada penganutnya juga. Harga moral ini tidak bisa disandingkan dengan ukuran suara terbanyak atau mayoritas. Siapa yang banyak suara dialah yang harus diikuti. Gaya demokrasi cara ini wajar dalam banyak hal namun tidak dalam menakar moral seseorang dengan moral orang atau bangsa lain apalagi memaksakannya.
Isu-isu ini barangkali nantinya akan menjadi bola-bola sandungan di masa depan. Isu yang tak lebih berharga dibandingkan dengan isu kesehatan, pendidikan, bencana alam, dan peningkatan ekonomi rakyat. Ada yang menggiring bangsa kita ke sandungan-sandungan itu dan kemudian sebuah revolusi akan tercipta. Menciptakan pemimpin baru yang nantinyapun akan direvolusi lagi dengan alasan-alasan lain.
Inilah suratku yang pendek, yang hanya punya pijak pikir bagaimana membuat mutiara dan bagaimana menamai kerang pengebor. Karena itulah keahlianku, selebihnya hanya kepedulianku. Kepedulian yang merupakan manifestasi cinta keutuhan bangsaku.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment