Thursday, October 14, 2010

Catatan seratoes enam poeloeh doea: Indomie oh Indomie...


Aku memang bukan penggilamu. Jadi, jangan kau pernah merasa tersanjung.Sejak dulu aku didoktrin bahwa kalau makanan instant pasti punya pengawet. Sehingga akupun berusaha menghindari memakanmu sebisaku. Tapi, walau kenanganku denganmu sedikit kau lebih melekat di nadiku daripada makanan instan lain. Nama Indomie-mu itu mungkin yang membuatmu nempel terus kayak perangko.
Kuingat lebih dari  dua belas tahun yang lalu di kota kecil bernama Aarhus. Sebuah kota yang jauh dari nafas Indonesia dulu. Walau kota ini terbesar kedua setelah Kopenhagen tapi kupikir ukuran kota ini belum mampu menandingi Manado. Karena dalam sehari saja aku bisa mengelilinginya dengan sepeda.

Di kota ini cintaku pada Indomie terjelma. Setelah kemampuan adaptasi terhadap makanan cukup lumayan (pizza setiap saat lunch dan roti saat breakfast) ternyata kemampuan adaptasi ini tak menyurutkan rasa kangen akan rasa Indonesia. Kupikir, aku bisa bertahan tanpa makanan Indonesia. Namun, kemampuan adaptasi toh surut juga dengan rasa kangenku. Syukurlah, di pojokan pertokoan dekat gereja yang sekali setahun saja dikunjungi orang kudapatkan makanan mirip Indomie. Tom Yum kata mereka. Padahal nama itu merujuk pada makanan khas Thailand. Jadi yang dijual di toko saat itu adalah makanan khas  Thailand yang dikeringkan seperti  Indomie. Tak masalah, kupikir Tom Yum akan mengobati rasa rinduku, kan sama bentuk dan kemasannya? Untuk pertama kalinya aku merasakan makanan Thailand yang ternyata (maaf) kesan pertamaku tak mengenakkan. Asam rasanya! Kupaksa juga dengan Tom Yum ini yang ternyata memaksa bosanku untuk memberikan sisa bungkusan yang ku beli kepada teman ku. Bosan yang tidak hilang walaupun kudapatkan juga Kopiko dari Mayora di toko yang sama.

Kangenkupun terbayar sudah. Walau cukup lama menunggu, di sebuah toko dekat halte bis di pusat kota, kudapatkan indomie. Ku tahu, teman-temanku pun kangen akan dia. Tapi aku lupa kalau siapa duluan menemukannya. Yang jelas, saat itu juga kangenku muncul. Ku borong berbungkus-bungkus indomie, kusediakan stok untuk beberapa hari ke depan. Ternyata, benar! Indomie memang enak dan praktis. Dialah yang membangkitkan rinduku pada kampung.

Enam tahun kemudian aku ke Australia. Di sana Indomie malah ditawarkan dalam berbagai variasi. Andalanku, mie goreng dan mie kuah rasa soto. Walau McD dan KFC ada di mana-mana dan praktis. Indomie tetap saja menemaniku ku dan keluarga. Kepraktisan Indomie bila tengah malam tiba dan malas menyambangi McD dan KFC (padahal keduanya juga makanan instan yang tak menyehatkan). Kepraktisan indomie juga terjelma saat asyik kerja di rumah sendiri dan lapar tiba-tiba datang.

Sayangnya, makanan praktis memang bukan tanpa efek. Walau ku berusaha menghindarinya namun daya magisnya kuat. Aku kecanduan! Sayangnya itu hanya berlaku di luar negeri. Kumemakluminya. Karena ku pikir rasa indomie memang wajar mewakili rasa Indonesia. Sementara rasa Indonesia susah dibedakan bila dimakan di Indonesia pula.

Ini obituariku tentang Indomie yang tinggal menunggu hari lenyap dari Taiwan. Salam kangenku.

No comments: