Saturday, March 22, 2008
Catatan seratoes empat poeloeh empat
Pagi ini tiba-tiba blue. Kuingat mama. Kuingat mama yang sendiri ditinggal papa yang pulang lebih dulu. Blue ku memang beralasan setelah semalam kami nyanyikan lagu Ambon Sio Mama. Walau mamaku tak pernah bakar sagu tapi mamaku punya jingle bila masak sendiri di dapur dan membersihkan rumah. Aku tak ingat lagunya apa namun lagunya mendayu-dayu. Kuingat saat mamaku sering menggosok punggungku bila aku membangunkannya: “Ma, aku gak bisa tidur”. Aku gelisah. Mamaku mengambil gelisahku sekejap. Menyenyapkanku dengan cerita keberanian papa, keberanian mereka berdua mengarungi laut di masa muda. Padahal mereka adalah orang gunung. Cerita keberanian mereka memasuki kampung-kampung tak dikenal, mendidik anak-anak kampung. Aku ingat ketika aku bertekad untuk TAK menjadi guru ketika melihat nasib mereka! Persetan dengan guru! Nasib kami tak pernah berubah! Aku tahu mama-papaku mendengarnya, mereka meresap gejolakku. Gejolak memberontak melihat ketakberuntungan seorang guru yang sampai sekarangpun tak dilirik dengan seksama oleh para petinggi. Persetan dengan para petinggi! Tapi, apa jadi? Aku akhirnya menjadi guru, dan aku mencintainya! Aku mewarisinya tanpa sadar! Menjadi guru bukan karena aku menjilat ludahku yang ku tumpahkan bagi para petinggi, bukan! Aku bekerja dengan hati, walau ku tahu gajiku tak bisa membayar mimpi-mimpiku. Cinta yang terwariskan dari mama-papaku.
Sio Tete Manise… jaga beta pung Mama…
Saturday, March 15, 2008
Catatan seratoes empat poeloeh tiga
Dalam sebuah pemilihan terbuka yang belum diketahui siapa kandidat pemimpin maka semua orang layak untuk dipilih, sejauh tak ada aturan yang mengikat ketidaklayakkannya untuk dipilih tentunya. Lain halnya bila di saat pemilihan telah terjaring kandidat yang akan dipilih. Kehadiran pemilih tak perlu dipusingkan mencari kandidat yang akan dipilihnya. Kasus pemilihan terbuka banyak terjadi di level organisasi kecil menurut bentuk fisiknya. Karena, untuk apa dilakukan penjaringan kalau toh bisa dilakukan sekali jalan? Makin besar sebuah organisasi, makin beragam pula proses pemilihannya bahkan saat proses penjaringannya.
Kembali ke model pemilihan skala kecil, setiap anggota memiliki nilai sama di mata demokrasi. Sama tinggi, sama rendah. AD/ART lah yang menyempitkan pengertiannya. Sehingga bila seorang datang ke dalam pemilihan, sebagaimana dia menghargai dan memilih si A, dia juga tak bisa mengelak bila si A menghargai balik dan memilih dia! Tak ada alasan untuk menolaknya!
Tulisan ini disumbangkan bagi teman-teman PPIA JCU yang sementara melakukan pemilihan presiden baru. I know you'll have the best ONE to be elected!
Monday, March 10, 2008
Catatan seratoes empat poeloeh doea
10 Maret 2008
Budidaya dan bertani, apakah masih menjadi suatu alternatif? (Mendobrak isme konservasi sempit)
Bagaikan pertanian, kegiatan budidaya di laut sepertinya tetap saja berjalan di tempat. Padahal, begitu banyak jargon masa lalu yang bertujuan mengangkat rakyat kecil (yang notabene kebanyakan petani) dengan mengagungkan negara kita adalah negara agraris, dst… dst… Tapi kemanakah petani dan nelayan kita? Kesalahan para pengusaha besar yang membabat hutan dan mengeruk laut dengan traktor dan armada kapal raksasa mereka yang berdampak pada multiefek masalah sepertinya ditanggung petani dan nelayan. Sebut saja terbatasnya suplai ikan di perairan akibat pengerukan besar-besaran nelayan berdasi dengan diberlakukannya regulasi penangkapan ikan, sampai pada perusakan hutan oleh petani berdasi yang mengakibatkan ketidakseimbangan meteorologi dan kontur tanah dan akhirnya regulasi pemanfaatan lahan. Ujungnya adalah masalah besar yang saling menindih dan menunggu waktu: kekurangan suplai makanan dan efek global warming! Keduanya tak bisa dipilih! Keduanya berujung ke kematian!
Konservasi? Iya itu adalah jawaban. Namun, sayangnya istilah konservasi hanya diartikan sempit oleh sebagian pelakunya. Konservasi alam dengan membuat areal perlindungan di berbagai tempat dan sebagian merampas lahan rakyat dijadikan sebagai alasan kuat penyelamatan lingkungan. Bahkan tak jarang ada kepentingan politis di dalamnya. Ke manakah manusia? Apakah mereka juga bukan bagian dari lingkungan? Apakah mereka juga tak boleh diselamatkan? Harus diakui bahwa sasaran konservasi yang sebelumnya ditujukan untuk kemaslahatan manusia namun sayangnya sudah sering dilencengkan. Nilai manusia berada dititik nadir dibandingkan organisme lain. Dan sedihnya bagian dari kumpulan manusia yaitu petani dan nelayan malah yang lebih merasakannya.
Gaung penyelamatan bumi makin menggema. Tema konservasi dengan menyempitkan wacana ke bahasan perlindungan mangrove, karang, hutan lindung, dan bahkan lebih spesifik lagi ke organisme tertentu menekan jauh-jauh alternatif apa yang diberikan kepada rakyat (kecil) bila salah satu wacana bahasan menyinggung mata pencarian mereka. Sehingga tak heran gejolak sosial atas nama perut sering terjadi dalam aplikasi (baca: sosialisasi bahkan penetapan peraturan) tema-tema konservasi ini. Masalahnya sederhana: mereka tak ditawarkan pilihan yang tepat! Konservasi sering terbaca sebagai penjara di kampung sendiri! Wajar mereka berteriak karena untuk apa bumi kita sebagai warisan bagi anak cucu sementara pemberi warisan terlunta-lunta? Nah kalau demikian, sanggupkah mereka membuat anak cucu lagi?
Pengembangan pertanian di lahan tertentu dan penggalakan budidaya bisa menjadi pilihan. Walau pun toh masih menghasilkan resiko bagi penyelamatan lingkungan namun aktifitas ini bisa menjadi pilihan yang tepat untuk menuntun rakyat bertanggungjawab akan lingkungan sekitarnya, disamping sebagai penyambung kehidupan. Alternatif ini jangan sekedar dilirik saja. Cukup sudah mulut berbusa petinggi negara di masa lalu. Do it now! Lakukan secara komprehensif mulai dari pemilihan lahan, penyediaan bibit , operasional sampai pada pemasaran. Buatlah petani dan nelayan kita lebih berharga, supaya mereka akan menghargaimu!