Tiga kali usaha
mungkin belum cukup. Tapi tiga kegagalan ini cukup memukulku. Di luar masalah
teknis, interpretasi proposal sebetulnya adalah masalah selera. Sehingga ku
pikir kenapa proposal ku ditolak karena masalah selera reviewersnya. Atau
mungkin masalah 'teknis' di luar teknis.
Aku memang tak
berharap agar semua proposalku diterima. Namun, setidaknya satu saja cukup
bagiku. Tapi, ternyata memang tak ada satupun yang diterima.
Kupikir semua mahfum
bahwa membuat proposal penelitian ujungnya adalah publikasi. Dikti-pun malah
mensyaratkannya. Tapi ternyata tak sedikit juga hasil penelitian yang dibiaya
mereka berujung pada laporan penelitian saja. Apakah publikasi yang ku buat selama
ini tak cukup? Ataukah karena sangat sedikit publikasi yang kutulis untuk
jurnal dalam negeri? Atau karena ini kali pertamaku meminta dana penelitian
dari sumberdana dalam negeri? Itukah ukuran kompetisi mendapatkan hibah penelitian?
Aku masih tak tahu.
Yang jelas, aku kecewa. Padahal aku sudah berangan-angan bahwa akan ada minimal
dua publikasi untuk jurnal internasional.
Kenapa jurnal
internasional? Ku pikir, bila kita mampu memublikasi hasil penelitian kita di
jurnal Internasional, hal itu akan mengumandangkan lebih banyak lagi informasi
dari Indonesia. Dan satu anganku, agar orang luar tak memandang rendah
Indonesia lagi. Itu kebanggaanku. Tapi, kenapa kebanggaanku luntur oleh kondisi
kompetisi mendapatkan hibah penelitian dalam negeri?
Dengan
memublikasikan karyaku di jurnal internasional tak ada sekalipun aku
memicingkan mata untuk jurnal dalam negeri. Aku sangat menghargainya! Namun,
sejauh ini kupikir belum ada jurnal dalam negeri dalam ranah penelitianku yang
telah menjadi jurnal internasional. Aku menantikannya sekaligus berencana
membuatnya. Semoga saja bisa kelak, bila dunia tak berubah. Karena perubahan
adalah
kondisi yang tak
bisa dielakkan; entah itu dari dunia atau dari diriku.