Aku memang bukan
penggilamu. Jadi, jangan kau pernah merasa tersanjung.Sejak dulu aku didoktrin
bahwa kalau makanan instant pasti punya pengawet. Sehingga akupun berusaha
menghindari memakanmu sebisaku. Tapi, walau kenanganku denganmu sedikit kau
lebih melekat di nadiku daripada makanan instan lain. Nama Indomie-mu itu
mungkin yang membuatmu nempel terus kayak perangko.
Kuingat lebih
dari dua belas tahun yang lalu di kota
kecil bernama Aarhus. Sebuah kota yang jauh dari nafas Indonesia dulu. Walau
kota ini terbesar kedua setelah Kopenhagen tapi kupikir ukuran kota ini belum
mampu menandingi Manado. Karena dalam sehari saja aku bisa mengelilinginya
dengan sepeda.
Di kota ini cintaku
pada Indomie terjelma. Setelah kemampuan adaptasi terhadap makanan cukup
lumayan (pizza setiap saat lunch dan roti saat breakfast) ternyata kemampuan
adaptasi ini tak menyurutkan rasa kangen akan rasa Indonesia. Kupikir, aku bisa
bertahan tanpa makanan Indonesia. Namun, kemampuan adaptasi toh surut juga
dengan rasa kangenku. Syukurlah, di pojokan pertokoan dekat gereja yang sekali
setahun saja dikunjungi orang kudapatkan makanan mirip Indomie. Tom Yum kata
mereka. Padahal nama itu merujuk pada makanan khas Thailand. Jadi yang dijual
di toko saat itu adalah makanan khas
Thailand yang dikeringkan seperti
Indomie. Tak masalah, kupikir Tom Yum akan mengobati rasa rinduku, kan
sama bentuk dan kemasannya? Untuk pertama kalinya aku merasakan makanan
Thailand yang ternyata (maaf) kesan pertamaku tak mengenakkan. Asam rasanya!
Kupaksa juga dengan Tom Yum ini yang ternyata memaksa bosanku untuk memberikan
sisa bungkusan yang ku beli kepada teman ku. Bosan yang tidak hilang walaupun
kudapatkan juga Kopiko dari Mayora di toko yang sama.
Kangenkupun terbayar
sudah. Walau cukup lama menunggu, di sebuah toko dekat halte bis di pusat kota,
kudapatkan indomie. Ku tahu, teman-temanku pun kangen akan dia. Tapi aku lupa
kalau siapa duluan menemukannya. Yang jelas, saat itu juga kangenku muncul. Ku
borong berbungkus-bungkus indomie, kusediakan stok untuk beberapa hari ke
depan. Ternyata, benar! Indomie memang enak dan praktis. Dialah yang
membangkitkan rinduku pada kampung.
Enam tahun kemudian
aku ke Australia. Di sana Indomie malah ditawarkan dalam berbagai variasi.
Andalanku, mie goreng dan mie kuah rasa soto. Walau McD dan KFC ada di
mana-mana dan praktis. Indomie tetap saja menemaniku ku dan keluarga.
Kepraktisan Indomie bila tengah malam tiba dan malas menyambangi McD dan KFC
(padahal keduanya juga makanan instan yang tak menyehatkan). Kepraktisan
indomie juga terjelma saat asyik kerja di rumah sendiri dan lapar tiba-tiba
datang.
Sayangnya, makanan
praktis memang bukan tanpa efek. Walau ku berusaha menghindarinya namun daya
magisnya kuat. Aku kecanduan! Sayangnya itu hanya berlaku di luar negeri.
Kumemakluminya. Karena ku pikir rasa indomie memang wajar mewakili rasa
Indonesia. Sementara rasa Indonesia susah dibedakan bila dimakan di Indonesia
pula.
Ini obituariku
tentang Indomie yang tinggal menunggu hari lenyap dari Taiwan. Salam kangenku.