Monday, January 22, 2007
Catatan seratoes
Minggu, 21 Januari 2007
Di catatanku yang ke seratus tak ada yang akan ku komentari selain diriku. Diriku yang menerka-nerka pandangan orang lain dengan bertanya sendiri, salahkah bila aku gondrong? Pertanyaan itu muncul tiba-tiba sejak tadi pagi. Laki-laki gondrong sering disejajarkan sebagai seorang seniman, lebih parah lagi kalau ada yang menganggap orang gondrong adalah orang yang tak peduli diri sendiri. Gondrong bagiku adalah eksperimen kesabaran diri. Sebuah percobaan pembangkangan diri yang sebelumnya menjalani rutinitas. Adaptasi yang memang menyakitkan kepala. Betapa banyak diriku harus mengikat rambut karena mereka menghalangi mataku di mikroskop. Berapa banyak energi ekstra ditransfer untuk tanganku yang terpaksa mengibas rambut setiap saat aku serius membaca? Berapa kali kantukku terganggu karena rambut menutup hidungku? Belum lagi celoteh beberapa teman yang kuanggap sebagai ekspresi sirik, namun memori otakku memilih untuk menyimpannya.
Aku pernah botak. Sejauh ini catatan kritis hanya dari ibuku. Ibuku kayaknya lebih memilih gondrong daripada botak. Herannya sebagai seorang berkepala plontos, aku sering dianggap sebagai narapidana. Ku yakin begitu juga bagi teman-teman botak yang lain. Harus diakui, sebagai seorang botak, aku lebih mudah menghadapi keluhan diri. Tak ada kibasan rambut, tak ada shampo dan sisir. Yang ada hanya panas menyengat saat terdedah di panas matahari. Namun, obatnya gampang, sebuah topi!
Banyak orang masih dengan gampang menerima bila seseorang berpenampilan dengan rambut yang tak panjang dan tak juga botak. Setidaknya untuk saat ini. Karena pandangan inipun merupakan sebuah pandangan baru di suatu saat di masa lampau. Pandangan yang mengalami resistensi, sama dengan para botakus dan gondrongus (akhiran –us untuk para lelaki).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment