Friday, January 23, 2009

Catatan seratoes lima poeloeh lima

Power down dan semuanya panik!

Walau berada jauh dari keriuhan Sydney, namun Townsville tak jauh dari rambahan teknologi yang tergantung akan listrik. Kamis kemarin adalah untuk kesekian kalinya Townsville tiba-tiba redup dalam sekejap. Semua lampu mati, termasuk lampu lalu lintas. Pengendara harus ekstra hati-hati dari biasanya saat melewati traffic light. Walaupun pemandangan ini tak lazim di Indonesia. Di rumahpun tak ada yang bisa dipakai untuk masak. Kompor yang digunakan adalah kompor listrik. Microwave yang sering menjadi alternatif pemungkas pun tak berguna. “Maaf, saya harus segera pulang untuk menghabiskan bir di kulkas sebelum keburu hangat”, begitu celutuk tentanggaku. Tak hilang akal, akupun langsung ke supermarket terdekat. Ternyata supermarketnya hanya menggunakan setengah tenaga listrik, mereka menggunakan generator. Semua pajangan dingin dimatikan dan ditutup. Yang siap dimakan hanyalah roti, itupun hampir habis! Kuingat, biasanya dipojokan ada ayam panggang utuh. Anganku membayangkan dinner yang hangat setidaknya untuk malam ini bersama keluarga apabila listriknya tak pernah menyala esok hari. Tapi, agaknya aku kalah cepat dan kalah smart. Ayam panggang yang sering kali tersisa di saat penutupan toko di hari sebelumnya, hilang sekejap. Sialnya di halamanku tak ada tempat barbecue. Seperti orang Australia lainnya, aku tak boleh membuat api selain ditempat barbecue. Sial! Dengan tenang istriku memutuskan untuk makan sandwich roti malam ini, makanan yang biasanya kami makan saat makan siang. Dia berusaha menenangkan Nadine yang menginginkan sup ayam hangat. Pikiranku balik ke kampung. Listrik mati maupun tidak tetap makan makanan hangat. Perapian tetap menyala menghangatkan rumah! Jadilah candle light dinner yang romantis; yang harganya mahal bila di negara maju.

Tuesday, January 13, 2009

Catatan seratoes lima poeloeh empat



Tentang perang, kapal tenggelam dan pers Indonesia yang meliputnya


tulisan ini ditulis saat 'menikmati' hentakan ex-cyclone Charlotte

Media modern memang mampu meramu cerita perang menjadi lebih dramatis. Dalam sedetik air mata berlinang saat mendengar kata yang di eja satu satu bersama tayangan dramatis yang dibuat slow-motion, diambil dari berbagai sudut dan sesekali wajah manusia yang meraung, meringis di antara ledakan bom yang melantakkan kota. Dahsyat memang. Entah direkayasa atau tidak (seperti konon Amerika pernah merekayasa cerita tentang teluk yang tercemar akibat ledakan roket Irak), tayangan seperti ini memang sebaiknya ditonton oleh mereka yang dewasa dan masih waras (aku tak menyarankan anak-anak menikmati kesengsaraan dalam hayal sekalipun). Bahwa, perang, apapun dalihnya adalah keliru! Aku tak mau berpolemik tentang dalih, aku mau berpolemik tentang perang. Karena dalih bisa diselesaikan tanpa perang. Perang adalah kehancuran, tak ada pemimpin perang yang tak mengetahuinya tapi pikiran itu tertutup rapat dengan celoteh tentang harga diri yang diramu dengan mimik memelas. Dalam sekejap sebuah peradaban hilang. Walaupun akan muncul peradaban baru, namun nilai individual manusia berada di titik nadir di saat perang bergejolak. Padahal, manusia diagungkan memiliki nalar dan tak selayaknya disejajarkan dengan babi dan kambing!

Kembali ke sepak terjang media modern. Betapa takjubnya aku. Tak sampai sehari, manusia di berbagai belahan dunia akan bisa menjejak setiap jengkal sudut-sudut Gaza, merekam raut wajah merinding ibu-anak dan pada saat yang sama di seberang sana, tentara Israel memacu pesawat pengebom lepas landas menuju Gaza. Sedetik kemudian terlihat suasana kota Jakarta dan berbagai kota di dunia dengan demo besar-besaran menantang serangan Israel. Kemudian, tayangan balik lagi ke roket-roket Hamas yang ‘sukses’ mengelabui Israel. Itulah tayangan yang umum di semua TV, tak ketinggalan juga di Indonesia. Yang membedakannya barangkali adalah, agaknya tayangan ini lebih banyak porsinya di televisi dan media internet Indonesia daripada tayangan berita dalam negeri (ketika aku membandingkannya dengan berita Channel 7 dan Channel 9 tadi pagi plus berita koran online Australia). Aku langsung berpikir, ada apa dibalik itu? Jelas, setiap berita tentu memiliki pesan. Namun agaknya bukan pesan yang aku kesalkan disini, but something else. Ku abaikan cerita keganasan Israel, ku buka sebuah harian lokal Indonesia. What??? 250 orang tenggelam di kapal yang melayari selat Makassar? Ku cari di media-media tenar online. Di manakah beritanya? Kuingin mendapatkan informasi dari sanak saudaraku sendiri, darah kandungku sendiri, anak bangsaku sendiri, tapi di mana? Mereka hilang di antara tayangan roket dan bom Israel-Hamas. Mereka hilang diantara Ronaldo yang kehilangan Ferrari dan sekaligus menjadi pemain terbaik dunia. Mereka hilang di tengah kemeriahan golden globe. Mereka hilang diantara pidato politikus opportunis. Mereka tenggelam! Dua ratus lima puluh saudara kita sendiri hilang, tak pedulikah kita? Apakah berita itu tak cukup kuat buat pers kita?... Ini jawaban sesalku.

Aku tak mau berdemo, tapi aku mau berdoa. Semoga saudara-saudaraku selamat. Lord, please help them! I beg you, Lord!

image source: http://www.tunbridgewells.gov.uk/upload/public/docimages/image/c/e/k/the%20shipwreck.jpg

Friday, January 02, 2009

Catatan seratoes lima poeloeh tiga

Bengong berkesinambungan

Dua hari menapaki tahun baru ini aku hanya menertawai diri. Tertawa yang sama dan kuulangi empat tahun terakhir. Tertawa karena memikirkan budaya yang berbeda dalam merayakan natal dan tahun baru. Tertawa melihat tabiat orang bule merayakan hari raya: SUNYI! SEPI! Walau di hari-hari sebelumnya setiap toko di pusat perbelanjaan tak beda dengan stasiun bus di Indonesia saat hari raya. Malamnya, orang-orang berteriak di sepanjang jalan karena mabuk menenggak bir dan anggur nomor satu. Puih! Komersialisasi yang keterlaluan. Hari raya adalah ajang penumpukan harta usaha-usaha korporasi. Lho, koq tulisanku melenceng ke kerakusan pelaku komersialisasi? Aaah... tak apa, yang penting aku berusaha mencari jawaban bengong syndrom yang menghantamku di hari raya ini. Jalan sana sini tak cukup mengobati, bahkan bermalam sehari di Magnetic Island tak cukup! Terbayang saat saling sapa dengan keluarga di kampung, mengitari kampung sampai tengah malam dan bertemu teman saat kecil. Ngobrol mulai dari catur, tinju sampai tingkahlaku politikus dan kembali ke catur lagi. Ataupun nyanyi bersama lagu natal dikombinasikan dengan Oemar Bakri-nya Iwan Fals. Atau lagu koleksi lagu cengeng zaman jadulpun dinyanyikan dengan 6 warna suara yang berbeda. Tak peduli lagunya fales atau gak. Setelah itu ngobrol lagi tentang partai politik, sepakbola tinju dan balik lagi ke sepakbola. Ku tetap mempertahankan Chelsea apapun adanya, karena ku tak suka MU. Jauh sebelum Abramovich membelinya. Sayang sekali, dalam mimpipun mereka tak datang. Percikannya saja yang kurasa lewat menelpon keluarga di kampung, setelah itu senyap lagi. Bengong sendiri. Nadine dan mama nya pun turut bengong.