Sunday, July 22, 2007

Catatan seratoes doeapoeloeh empat

Minggu 22 Juli 2007

Kembali tentang buku. Aku suka baca novel. Yang paling ku suka adalah cerita petualangan di darat, laut dan udara. Kesukaanku akan jenis novel tertentu tak beda jauh dengan film. Ada sedikit pergeseran kesukaan bila kutonton film, Batman, Superman dan teman-temannya pasti masuk dalam hitungan. Hal ini tak berlaku bila mereka tertulis dalam sebuah novel (emang mereka ditulis dalam novel?). Aku juga suka horor apalagi berhubungan dengan mitos, pasti ku lahap. Membaca novel adalah membawa diriku ke dunia lain yang kadang tak tersentuh mimpi malam. Tak juga itu, walau tak ku stabilo, namun novel kadang memberikan sejumput kalimat yang tak sadar langsung mendekam dalam diri. Kata-kata Pramoedya, Mark Twain, Leo Tolstoy, Karl May, Sidney Sheldon, Jean Auel, Motinggo Busye, Remy Sylado dan beberapa kata menggelitik dari cerpenis Putu Wijaya bahkan Bastian Tito si pemilik novel Wiro Sableng pun turut masuk dalam genggaman. Masih banyak penulis yang mempengaruhi haluan hidup saya. Aku tahu bahwa aku dibodohi mereka pada akhirnya. Mereka menjual imajinasinya dan aku salah satu korbannya. Sama hanya dengan musik, Iwan fals pasti masuk dalam daftarku. Namun kebodohanku tak sampai dengan mengantri buku (atau kaset) seandainya bila si Karl May masih hidup dan mengeluarkan Winnetou 4-nya. Apalagi dengan kesepakatan-kesepakatan naif yang terjelma akibat tipuan model marketing modern dengan bersembunyi dibalik kata ”secret” dan ”confidential”. Sebuah akibat globalisasi yang tak disadari menjerumuskan manusia yang bisa saja membawanya me-nuhankan imajinasi sang penulis atau bahkan penulisnya sendiri. Sampai akhirnya aku bergumam sendiri: ternyata ada juga (baca: banyak juga) orang yang seperti ini? Sebuah gelombang baru dalam mainstream peradaban modern… Anyway, they are always my friends, though.

Saturday, July 21, 2007

Catatan seratoes doea poeloeh tiga

Sabtu 21 Juli 2007

Kamarku penuh buku. Sebagian besar adalah buku pinjaman dari perpustakaan. Bukan karena aku suka membaca, bukan. Namun karena tak ada tempat lain lagi untuk menyimpan buku-bukuku dan (kedua) aku harus menjaganya sebelum dipinjam orang lain. Serakah juga, kupikir. Tapi tak apa, kalau toh orang lain memerlukan buku-buku itu pasti mereka akan memintanya ke pegawai perpustakaan, dan tak sampai seminggu panggilan masuk ke dalam emailku.

Semestinya aku punya ruang perpustakaan di rumah. Sepertinya ruang perpustakaan adalah ruang yang sangat mewah dalam rencana-rencanaku selama ini sehingga selalu terpinggirkan oleh rencana lain.

Seandainya aku tak perlu membuka mata untuk membaca, barangkali sebagian besar buku di kamarku sudah ku baca. Buku-buku yang telah dibaca akan dikembalikan dan akan diganti oleh buku yang lain. Tapi apalah artinya kata ”membaca” bila tak menggunakan mata?

Cerita buku ini mengingatkanku akan antrean panjang orang yang membeli Harry Potter seri terakhir (katanya sih) akibat hanyut dalam imajinasi JK Rowling sekaligus trik marketing zaman modern.