Monday, January 29, 2007
Catatan seratoes tiga
Senin, 29 Januari 2007.
Ocean’s deadliest yang ditayangkan malam ini oleh WIN Television begitu mengagumkan! Ada , cone shells, beberapa jenis ular laut, box jelly fish, blue ring octopus, great white sharks dan estuarine or saltwater crocodiles. Itu yang sempat ku lihat karena jam tayang telah dimulai setengah jam sebelumnya. Setiap sajian didampingi dengan ahli dari setiap hewan mematikan ini. Tak lupa juga sang legendaries Steve Irwing pada beberapa spot. Disamping racun yang ganas dan agresifitas (khusus hiu dan crocs), disajikan juga beberapa tips bagaimana menghandle dan kalaupun tak bisa, menghindarinya. Tak hanya itu tapi dipaparkan juga berbagai penelitian yang dilakukan atas beberapa binatang ini misalnya, milking venom ular laut untuk mendapatkan anti-racun bila seandainya digigit, atau mempelajari tingkahlaku buaya laut. Betapa sebuah penyajian yang komprehensif, setidaknya bagi para praktisi yang selalu berhubungan dengan laut. Pada akhir sajian, sebuah perenungan tentang kekuasaan manusia atas laut dan isinya, tentang perburuan paus dan hiu, pencemaran dan lebih lagi begitu banyak ‘organisme ikutan’ dari sekali tangkapan yang dibuang sia-sia. Masih banyak yang tak tahu, apalagi dengan ganasnya racun cone shells dan blue ringed octopus (gurita cincin biru) yang banyak tersebar di Indonesia dan menjadi pembunuh tersembunyi. Namun bukan berarti mereka harus dibinasakan! Mereka tak tahu, mereka membunuh karena lapar dan membela diri! Jauh dari pikiran serakah, kuat dan sombong yang dimiliki oleh spesies Homo sapiens!
Catatan seratoes doea
Senin, 29 Januari 2007.
Menyimak acara Australian Day 26 Januari lalu, hatiku tergerak. Lepas dari keriuhan berita dan gossip selebritis di berbagai media, ternyata Australia juga memperhatikan para pejuang bangsanya dari berbagai bidang. Acara tahunan yang yang mengangkat citra Australia di mata warganya, mengangkat warganya sebagai warga Australia! Di sana ada kebanggaan sebagai warga Australia, ada komitmen untuk mencapai masa depan yang lebih baik dan ada penghargaan atas prestasi anak bangsanya. Prestasi anak bangsa adalah prestasi yang bisa menginspirasi seluruh warga Australia lewat capaian dan kontribusi anak bangsa itu. Tak banyak yang menjadi kategori: Australian of the Year, Senior Australian of the Year (usia 60 tahun atau lebih), Young Australian of the Year (16 sampai 25 tahun), Australia's Local Hero. Caranya juga mudah, semuanya diserahkan kepada rakyat sebagai jurinya. Tinggal mengisi formulir isian atau dilakukan secara online. Di sana hanya berisi siapa yang dinominasi dan mengapa dia yang anda pilih? Prosesnya bagaikan memilihPresiden Indonesia secara langsung. Bedanya dalam pilpres tidak ada pertanyaan mengapa anda memilih dia sebagai presiden?
Wednesday, January 24, 2007
Catatan seratoes satoe
Rabu, 24 Januari 2007.
Pikiranku buntu akhir-akhir ini. Deadline yang ku pasang sendiri tak bisa kupenuhi. Sementara kepalaku penuh dengan berbagai teori dan opini yang harus kurangkai menjadi satu tulisan utuh. Tak jarang pelampiasan uring-uringanku adalah keluargaku atau siapa saja yang ada di dekatku. Masalah kecil menjadi besar di mataku. Nadine yang tak tahu apa-apapun kena imbasnya. Tapi, dia tak jemu-jemunya mendekatiku, menciumku dan memelukku. Hatikupun luluh juga. Ya sewajarnya aku luluh, apa arti seorang ayah kalau tak luluh hatinya di hadapan anaknya? Walau toh dia sebelumnya kena marah karena tak mau makan cereal hanya karena pake susu. Dia lebih memilih cereal kering daripada dicampur susu. Saat aku benar-benar kusut, dia datang pelan-pelan. Sempat juga kusuruh dia keluar ruang kerjaku. Namun, tak berapa lama kemudian dia datang lagi, membuka pintu perlahan dan bilang ”Dad, its hot outside, can I come in?”. Ku iyakan asalkan dia tak ribut. Perlahan dia masuk dan menciumku lagi. Ku diam. Diapun mulai mendapatkan kesibukannya. Benar! Dia tak ribut seperti biasanya. Kugunakan waktuku mencari ilham dengan memutar lagu pelan. Tak kusadari, dia sudah menari tanpa mengeluarkan suara di belakangku. Dia hanyut dengan irama lagunya dan tak menyadari kalau aku memperhatikannya. Akupun tersenyum saat dia melihatku. Dia datang dan memelukku lagi, menciumku. Aku luluh, dan mulai menulis catatan ini...
Monday, January 22, 2007
Catatan seratoes
Minggu, 21 Januari 2007
Di catatanku yang ke seratus tak ada yang akan ku komentari selain diriku. Diriku yang menerka-nerka pandangan orang lain dengan bertanya sendiri, salahkah bila aku gondrong? Pertanyaan itu muncul tiba-tiba sejak tadi pagi. Laki-laki gondrong sering disejajarkan sebagai seorang seniman, lebih parah lagi kalau ada yang menganggap orang gondrong adalah orang yang tak peduli diri sendiri. Gondrong bagiku adalah eksperimen kesabaran diri. Sebuah percobaan pembangkangan diri yang sebelumnya menjalani rutinitas. Adaptasi yang memang menyakitkan kepala. Betapa banyak diriku harus mengikat rambut karena mereka menghalangi mataku di mikroskop. Berapa banyak energi ekstra ditransfer untuk tanganku yang terpaksa mengibas rambut setiap saat aku serius membaca? Berapa kali kantukku terganggu karena rambut menutup hidungku? Belum lagi celoteh beberapa teman yang kuanggap sebagai ekspresi sirik, namun memori otakku memilih untuk menyimpannya.
Aku pernah botak. Sejauh ini catatan kritis hanya dari ibuku. Ibuku kayaknya lebih memilih gondrong daripada botak. Herannya sebagai seorang berkepala plontos, aku sering dianggap sebagai narapidana. Ku yakin begitu juga bagi teman-teman botak yang lain. Harus diakui, sebagai seorang botak, aku lebih mudah menghadapi keluhan diri. Tak ada kibasan rambut, tak ada shampo dan sisir. Yang ada hanya panas menyengat saat terdedah di panas matahari. Namun, obatnya gampang, sebuah topi!
Banyak orang masih dengan gampang menerima bila seseorang berpenampilan dengan rambut yang tak panjang dan tak juga botak. Setidaknya untuk saat ini. Karena pandangan inipun merupakan sebuah pandangan baru di suatu saat di masa lampau. Pandangan yang mengalami resistensi, sama dengan para botakus dan gondrongus (akhiran –us untuk para lelaki).
Catatan sembilan poeloeh sembilan
Minggu, 21 Januari 2007
Mungkin untuk sebagian orang, bangun pagi setelah tidur very late malam sebelumnya adalah hal yang biasa. Bagi seorang pemula seperti aku adalah hal yang luar biasa. Setiap bangun terasa dizzy, tapi aku harus bangun dan menyelesaikan tahapan proyek yang ku tetapkan sendiri. Walaupun toh apa yang kukerjakan tak membuahkan hasil memuaskan. Pagi ini aku bangun setengah enam pagi, walau ku tidur setengah satu semalam. Aku memang tidur agak cepat semalam, dibandingkan malam-malam sebelumnya. Tak kulakukan apa-apa selain ke halaman belakang melihat burung-burung. Ku bersyukur ada burung-burung pagi bernyanyi dan hamparan taman yang indah di belakang rumah. Kukitari setiap pojok halaman, menengok beberapa tanaman yang kami tanam. Di sana ada kemangi, sereh dan jahe. Mereka terlihat tersenyum. Panas yang menghanguskan telah lewat (mudah-mudahan). Ku siram mereka lagi. Disamping mereka, beberapa onggok kompos buatanku yang sebelumnya mengering sekarang sudah membusuk. Busuk tanaman khas bila masuk hutan. Aku terganggu dengan suara seekor burung di atas pohon semacam pohon petai yang menaungi setengah halaman belakang. Ternyata bukan hanya seekor, ada banyak yang bersembunyi di antara ranting. Mereka tiba-tiba diam saat aku datang. Satu-satu dari mereka mencicit. Mereka yang membangunkan tidurku, koq tiba-tiba diam? Barangkali mereka hanya kaget melihat seorang telanjang dada, sambil menggosok-gosok mata dan sesekali menyibakkan rambutnya keluar dari pintu belakang dan membiarkan pintunya terhempas. Aku tak peduli, tetap kunikmati kesejukan pagi ini. Nun di jauh sana jejeran pohon besar dan rumah di bawahnya. Matahari belum timbul ketika ku lihat seorang laki-laki baya berjalan dengan anjingnya yang besar. Kutatapi dia, jarak kita sekitar seratus meter di sebelah kiriku. Dia mengarah ke lapangan lapangan bola di sebelah kananku. Saat kami bersitatap, tiba-tiba dia berbalik arah. Jalannya yang santai tiba-tiba berubah memburu dan menjauh. Apa yang salah dengan diriku? Apakah karena aku telanjang dada dan gondrong?
Wednesday, January 17, 2007
Catatan sembilan poeloeh delapan
Rabu, 17 Januari 2007
Dewan Revolusi
Membaca berita tentang terbentuknya Dewan Revolusi, anganku langsung menjejak jauh ke belakang, saat ku membaca 30 tahun Indonesia Merdeka, menonton film perjuangan dan pemberontakan G-30S/PKI, sampai ke sebuah buku berjudul Permesta, Perjuangan Setengah Hati. Semua bayangan hitam putih foto dan film menyatu menjadi sekuel slideshow di kepalaku. Akupun merinding, anganku mengubah diriku seperti seorang bocah yang ditinggalkan orang tuanya di tengah deru kendaraan perang. Kotor dan menangis tak ada yang peduli. Apakah kita akan perang lagi? Barangkali terlalu jauh ku berpikir demikan, tapi wajar, karena konsep berpikir di kepalaku sudah terbentuk demikian. Konsep yang terbentuk ketika dijejali informasi berbagai revolusi di negara berkembang, kudeta militer di Myanmar, Thailand, Filipina, Kamboja. Merekalah sumber referensi yang paling dekat dan sempat kucerna. Mereka tak mau hilang dari kepalaku!
Bangsaku dalam bahaya! Walau ku tak sanggup menaksir seberapa besar kadar bahayanya. Dia dibombardir sana sini, ditusuk juga dari dalam!
Perubahan radikal kadangkala perlu. Tapi tak cukupkah contoh perubahan radikal secara politis yang malah membuat rakyat sengsara? Maaf kalau aku pesimis. Aku tak peduli siapapun pimpinan yang mati akibat revolusi (baca: perang), tapi mereka, rakyat kita yang selalu menjadi tempat tumpah nestapa bangsa. Mereka yang selama ini hanya dihibur dengan eforia sesaat tapi sengsara bersaat-saat. Kenapa tidak memadu tangan dan hati membuat Revolusi Gizi, Revolusi Pertanian, Revolusi Industri, Revolusi Pendidikan? Ataukah sasaran Dewan Revolusi adalah juga memayungi revolusi-revolusi ini?... Maaf, akupun masih tak percaya. Logikaku berkata, bila ada gejolak lagi maka kita akan vakum 2 sampai 3 tahun ke depan, rakyat terombang-ambing tanpa pendapatan yang berarti, bangsa lain secara eksponensial maju menjauh.
Membaca berita tentang terbentuknya Dewan Revolusi, anganku langsung menjejak jauh ke belakang, saat ku membaca 30 tahun Indonesia Merdeka, menonton film perjuangan dan pemberontakan G-30S/PKI, sampai ke sebuah buku berjudul Permesta, Perjuangan Setengah Hati. Semua bayangan hitam putih foto dan film menyatu menjadi sekuel slideshow di kepalaku. Akupun merinding, anganku mengubah diriku seperti seorang bocah yang ditinggalkan orang tuanya di tengah deru kendaraan perang. Kotor dan menangis tak ada yang peduli. Apakah kita akan perang lagi? Barangkali terlalu jauh ku berpikir demikan, tapi wajar, karena konsep berpikir di kepalaku sudah terbentuk demikian. Konsep yang terbentuk ketika dijejali informasi berbagai revolusi di negara berkembang, kudeta militer di Myanmar, Thailand, Filipina, Kamboja. Merekalah sumber referensi yang paling dekat dan sempat kucerna. Mereka tak mau hilang dari kepalaku!
Bangsaku dalam bahaya! Walau ku tak sanggup menaksir seberapa besar kadar bahayanya. Dia dibombardir sana sini, ditusuk juga dari dalam!
Perubahan radikal kadangkala perlu. Tapi tak cukupkah contoh perubahan radikal secara politis yang malah membuat rakyat sengsara? Maaf kalau aku pesimis. Aku tak peduli siapapun pimpinan yang mati akibat revolusi (baca: perang), tapi mereka, rakyat kita yang selalu menjadi tempat tumpah nestapa bangsa. Mereka yang selama ini hanya dihibur dengan eforia sesaat tapi sengsara bersaat-saat. Kenapa tidak memadu tangan dan hati membuat Revolusi Gizi, Revolusi Pertanian, Revolusi Industri, Revolusi Pendidikan? Ataukah sasaran Dewan Revolusi adalah juga memayungi revolusi-revolusi ini?... Maaf, akupun masih tak percaya. Logikaku berkata, bila ada gejolak lagi maka kita akan vakum 2 sampai 3 tahun ke depan, rakyat terombang-ambing tanpa pendapatan yang berarti, bangsa lain secara eksponensial maju menjauh.
Thursday, January 04, 2007
Catatan sembilan poeloeh toejoeh
Kamis, 4 Januari 2007
Banyak mitos yang dipercaya orang saat pergantian tahun. Salah satunya adalah, bila kita makan saat pergantian tahun maka keinginan makan muncul selama tahun yang berjalan. Konsekuensianya gendut. Aku tak tahu dari mana mitos ini ada, tapi setidaknya di kampungku begitu. Lantas bagaimana kalau kita berhubungan seks saat pergantian tahun?
Well, aku tak tahu apa yang mendorongku saat aku menceburkan diri ke kolam saat pergantian tahun. Kunikmati kesenyapannya. Ya karena atraksi kembang api jauh dari kolam renang tempatku bercebur. Tapi apakah dengan menceburkan diri aku akan menjadi Deni manusia ikan selama tahun ini? Semoga tidak.
Subscribe to:
Posts (Atom)