Bengong berkesinambungan
Dua hari menapaki tahun baru ini aku hanya menertawai diri. Tertawa yang sama dan kuulangi empat tahun terakhir. Tertawa karena memikirkan budaya yang berbeda dalam merayakan natal dan tahun baru. Tertawa melihat tabiat orang bule merayakan hari raya: SUNYI! SEPI! Walau di hari-hari sebelumnya setiap toko di pusat perbelanjaan tak beda dengan stasiun bus di Indonesia saat hari raya. Malamnya, orang-orang berteriak di sepanjang jalan karena mabuk menenggak bir dan anggur nomor satu. Puih! Komersialisasi yang keterlaluan. Hari raya adalah ajang penumpukan harta usaha-usaha korporasi. Lho, koq tulisanku melenceng ke kerakusan pelaku komersialisasi? Aaah... tak apa, yang penting aku berusaha mencari jawaban bengong syndrom yang menghantamku di hari raya ini. Jalan sana sini tak cukup mengobati, bahkan bermalam sehari di Magnetic Island tak cukup! Terbayang saat saling sapa dengan keluarga di kampung, mengitari kampung sampai tengah malam dan bertemu teman saat kecil. Ngobrol mulai dari catur, tinju sampai tingkahlaku politikus dan kembali ke catur lagi. Ataupun nyanyi bersama lagu natal dikombinasikan dengan Oemar Bakri-nya Iwan Fals. Atau lagu koleksi lagu cengeng zaman jadulpun dinyanyikan dengan 6 warna suara yang berbeda. Tak peduli lagunya fales atau gak. Setelah itu ngobrol lagi tentang partai politik, sepakbola tinju dan balik lagi ke sepakbola. Ku tetap mempertahankan Chelsea apapun adanya, karena ku tak suka MU. Jauh sebelum Abramovich membelinya. Sayang sekali, dalam mimpipun mereka tak datang. Percikannya saja yang kurasa lewat menelpon keluarga di kampung, setelah itu senyap lagi. Bengong sendiri. Nadine dan mama nya pun turut bengong.
No comments:
Post a Comment