22 Maret 2008
Pagi ini tiba-tiba blue. Kuingat mama. Kuingat mama yang sendiri ditinggal papa yang pulang lebih dulu. Blue ku memang beralasan setelah semalam kami nyanyikan lagu Ambon Sio Mama. Walau mamaku tak pernah bakar sagu tapi mamaku punya jingle bila masak sendiri di dapur dan membersihkan rumah. Aku tak ingat lagunya apa namun lagunya mendayu-dayu. Kuingat saat mamaku sering menggosok punggungku bila aku membangunkannya: “Ma, aku gak bisa tidur”. Aku gelisah. Mamaku mengambil gelisahku sekejap. Menyenyapkanku dengan cerita keberanian papa, keberanian mereka berdua mengarungi laut di masa muda. Padahal mereka adalah orang gunung. Cerita keberanian mereka memasuki kampung-kampung tak dikenal, mendidik anak-anak kampung. Aku ingat ketika aku bertekad untuk TAK menjadi guru ketika melihat nasib mereka! Persetan dengan guru! Nasib kami tak pernah berubah! Aku tahu mama-papaku mendengarnya, mereka meresap gejolakku. Gejolak memberontak melihat ketakberuntungan seorang guru yang sampai sekarangpun tak dilirik dengan seksama oleh para petinggi. Persetan dengan para petinggi! Tapi, apa jadi? Aku akhirnya menjadi guru, dan aku mencintainya! Aku mewarisinya tanpa sadar! Menjadi guru bukan karena aku menjilat ludahku yang ku tumpahkan bagi para petinggi, bukan! Aku bekerja dengan hati, walau ku tahu gajiku tak bisa membayar mimpi-mimpiku. Cinta yang terwariskan dari mama-papaku.
Sio Tete Manise… jaga beta pung Mama…
No comments:
Post a Comment