Hari ini ku coba mengeja hari hariku bersama Mama Ani ku yang berpulang semalam. Terlalu sedikit waktuku bersamanya. Terlalu banyak waktuku jauh dari beliau. Semestinya tanggal 16 Oktober selayaknya aku gembira, merasakan kebahagiaan adikku, Olmy yang berulang tahun. Tapi, tak banyak yang kami bisa share sejak telepon ibu yang mengabarkan bahwa Mama Ani Pop telah meninggal. Ku ingat saat terakhir aku bicara dengan beliau di ruang makan rumah dinas tentara. Rumah yang didiami beberapa puluh tahun dan kemudian harus ditinggalkan karena Papa Ani yang tentara sudah tak bertugas lagi. Dia bahkan telah berpulang lebih dulu. Di ruangan itu Mama Ani menumpahkan kesahnya. Betapa dia sangat terpukul sejak kepergian Papa Ani. Padahal hal itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Terlalu berat beban yang dia pikul. Ku selalu berusaha mengalihkan perasaannya dengan cerita-cerita ringan, tapi malah aku yang hanyut bersamanya. Berpuluh tahun aku tak mengetahui bagaimana Papa Ani ku sampai beliau pergi. Ma Ani berhasil mengais setiap serpihan kenangan, meramunya dan dibagikan kepadaku dalam sebuah lantunan cerita pahit. Ya, kuingat itu. Kuingat juga saat dia tersenyum sesaat ketika dia mengatakan: kau sudah makin dewasa sekarang! Dia terlalu sabar! Dia banyak memendam marah! Aku tak tahu kalau sebelumnya begitu banyak duri di sepanjang jalannya. Wajahnya terlalu rapi menyembunyikan kesahnya. Kalau dia tak bercerita, aku tak pernah tahu kepedihannya.
Saat ini dia pergi. Kepergiannya saat aku terlalu jauh menjamah jasadnya. Hal yang sama juga waktu Papa Ani ku berpulang sepuluh tahun lalu. Kenapa mereka berpulang di saat aku tak dekat? Buku mu telah kau tutup, padahal belum semua cerita kau sampaikan padaku.
No comments:
Post a Comment